Ibarat sakit kanker, hutan Indonesia kini tengah memasuki stadium IV. Deforestasi, degradasi kualitas dan kuantitas telah terjadi secara luar biasa dan sulit disembuhkan (Media Indonesia, 15/04/11). Miris sekali saudara - saudara. Zamrud khatulistiwa, sebuah negara dengan kebanggaannya sebagai negara tropis di tengah khatulistiwa. Negara yang dikenal karena hutan tropisnya yang terbentang luas dengan keanekaragaman hayati yang mampu membuat negara lain melirik iri. Negara itu kini tengah mengikis jati dirinya sendiri, miris.
Kebanggaan itu kini mereka buang, mereka tukarkan dengan sebuah kebahagiaan sesaat yang membawa sengsara bagi anak bangsa kelak. Pernahkah terbayangkan bagaimana nasib anak – cucu kita di kemudian hari? Mungkin akan tiba saatnya mereka menangis meronta berharap setetes air, berharap pepohonan kembali melindungi mereka dari panas yang menyengat. Hei bung! Ingat semua itu tak bisa dibeli! Seberapa banyak uang yang kau punya, tak akan mengubah apapun. Jual saja semua hutan kami dan kau akan melihat anakmu menangis di masa depan! Hidup bukan untuk saat ini saja bung! Kau hidup tak sendiri!
Mungkin uang 1 milliar dari Norwegia dalam kesepakatan Letter of Intent yang ditandatangani 2010 lalu memang lebih kecil dibanding pendapatan pemerintah yang didapat dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia sebesar 17 milliar. Memang moratorium yang dicanangkan oleh REDD+ (Reduction of Emmissions from Deforestation and Fores Degradation Pluss) akan memeberhentikan penebangan hutan primer dan sekunder yang secara otomatis akan mengurangi jatah hutan bagi APHI. Akan tetapi, kalau itu baik untuk anak cucu kita mengapa tidak? Sejauh ini Kemenko perekonomian, kehutanan, dan Lingkungan Hidup masih mengizinkan peerpanjangan izin bagi hutan sekunder. Pertanyaannya, mengapa?
Sebenarnya pertanyaan paling besar saat ini adalah apa yang bisa dilakukan oleh kita, generasi muda untuk mencegah hilangnya harta kita, jati diri kita, zamrud khatulistiwa kita. Ini bukanlah hanya soal kebijakan pemerintah yang tak tegas terhadap pembalakan liar, bukan hanya soal persengkokolan di dalam tubuh pemerintah. Memang patut diakui HUTAN adalah ASET terbesar kita, baik dari sisi lingkungan hidup ataupun perekonomian. Bagaimana menciptakan hubungan selaras antara pelestarian hutan dan bagi pemasukan pemerintah. Hal ini harus kita pikirkan bersama dan jujur gw masih gak ngerti harus apa dan bagaimana. Ini bukan karena gw masih primitif dan gak berpikir modern, tapi karena KITA memang MEMBUTUHKAN alam. Kita gak tiba – tiba aja bisa hidup kan?
Kekecewaan gw sebenarnya adalah masih adanya ketidakpedulian masyarakat kita terhadap pelestarian hutan. Dulu sebelum gw memutuskan masuk ke kehutanan, waktu gw masih galau milih jurusan apa. Gw nanya temen gw “gimana kalo gw masuk kehutanan”. Dan tahu apa jawaban beberapa temen gw saat itu, “Ngapain, kan hutan aja udah mau habis mau kerja dimana?” dan mereka tertawa. Gw ikut ketawa saat itu, tapi dalam hati gw mulai memutuskan untuk bekerja di kehutanan.
Altough it just a joke or whatever, gw tetep mikir kalau semua mikir kaya gitu mati ajadah kehutanan di negara kita dan gw GAK mau hal itu terjadi. Gw rindu angin yang berdesir di ketinggian, kabut lembut yang mebuat gw menarik rapat sleepingbag gw, jalan setapak yang terkesan gak berujung, pemandangan fantastis ketika berada di puncak seolah langit begitu mudahnya digapai.
Gw GAK mau anak – cucu gw gak ngerasain itu karena gw cinta saat – saat itu. Saat manusia benar – benar tak ada apa – apanya di mata alam. Gw ingin anak – cucu gw bisa belajar dan mengerti hal itu bahwa hidup bukan hanya soal duit, bukan hanya hasil akhir, tapi bagaimana proses di dalamnya kebersamaan yang di dapat, kesulitan dan bagaimana mereka menghargai semua itu. Menjadikan guru yang paling penting dalam hidup. Oleh karena itu, gw gak akan berhenti berdoa supaya lebatnya pepohonan itu tak hilang cepat karena keegoisan manusia.
INGAT BUNG! KAU TAK HIDUP SENDIRI!
0 talks:
Post a Comment