Hari itu yang ditunggu tak kunjung datang. Sudah hampir tengah hari pejabat tertinggi di DPRD tak kunjung tiba di kantor. Separuh gontai, kulangkahkan kaki menuju ruang rapat pimpinan di Balaikota. Barangkali ada sesuatu yang menarik di sana. Toh, Walikota Jakarta Pusat dikabarkan hadir dalam rapat tersebut. Bapak baik hati, agak ketus, dengan kumisnya yang aduhai hahahaha.

Penantian pun terjawab, Pak Walikota keluar. Saat ditanya mengenai konten rapat, nama rumah cantik pun mencuat. Didorong rasa penasaran yang tanpa riset akhirnya aku mengajukan usulan untuk pergi ke rumah tersebut. Tentunya, setelah menyelesaikan agenda selanjutnya.

Betapa herannya saya ternyata rumah cantik yang merupakan cagar budaya tersebut menyimpan permasalahan di belakangnya. Rumah yang saat ini bisa dibilang sudah hampir hancur ini pernah akan direnovasi namun terhenti. Kabar simpang siur menyebutkan bahwa yang melakukannya adalah Ibas, anak presiden SBY. Tentunya hal tersebut belum terkonfirmasi.

Nyatanya, dari kabar yang beredar pemilik pertama bukan menjual kepada Ibas tetapi kepada seorang keturunan Cina. Entah siapa dia. Namun, rumah ini kembali berpindah tangan ke salah satu pengusaha. Ini pun lagi-lagi masih menjadi misteri kebenarannya.

Bahkan Gubernur DKI Jakarta Ahok pun masih memerintahkan untuk mencari tahu pemilik saat ini. Lagi, di sini saya kebingungan. Apalagi kepada dinas pariwisata malah sulit untuk dihubungi.

Apapun konflik di dalamnya, dan berbagai kebingungan saya terhadap penetapan cagar budaya untuk milik pribadi, hal ini tidak dapat menutupi fakta bahwa rumah yang pernah berjaya itu mulai terlupakan. Siapa yang peduli dengan rumah kumuh, hampir bobrok, yang semak belukar memadati halamannya.

Mungkin butuh keberanian pemerintah DKI untuk 'memaksa' pemiliknya melakukan pemugaran. Ya pastinya sulit, apa boleh buat pemilik dipaksa untuk mengembalikan rumah ke design semula. Bagaimana jika si pemilik memiliki niatan lain untuk tanah ini. Membangun parkiran di basemen dengan lift hidrolik misalnya? yang pasti rumah belanda dengan tiga buah kamar pastinya tak akan menarik baginya.

Yah, lihat saja nanti

Hari ini Jakarta luar biasa padatnya. Kemacetan timbul di berbagai titik di penjuru. Bukan hal yang aneh sebenarnya, toh Jakarta dirundung macet setiap harinya. Tapi, jika detil mengamati ada yang hilang dari jalanan kota Jakarta. Hijaunya atribut driver gojek dan grab bike mendadak hilang tak berbekas. Keluhan pelanggan yang tak terangkut pun bermunculan.

Tak hanya grab dan gojek, bahkan taksi pun tak ditemukan di jalanan. Padahal jalanan sedemikian padatnya.

Cuaca mendung kali ini terasa begitu panasnya. Ada ketakutan dan kekhawatiran menggelayuti. Supir taksi mengandangkan mobilnya. Supir gojek dan grab menanggalkan atributnya. Keheningan menyeruak di jejaring aplikasi kendaraan online tersebut.

Kapolda DKI Jakarta yang baru dilantik itu pun mendadak mendapat hadiah mengejutkan sehari setelah serah terima jabatan. Demo besar besaran sopir taksi dan bajaj menolak uber dan grab car meluas dan mengundang kericuhan. Bahkan grab bike dan gojek pun menjadi sasaran.

Aksi ini merupakan aksi susulan terhadap aksi yang dilakukan minggu lalu. Setelah menurunkan sekitar 2000 orang, hari ini 6000 orang kembali diturunkan. Nampaknya, mereka tak puas dengan penyelesaian pemerintah minggu lalu.

Bukan kepastian berbadan hukum untuk grabcar dan uber yang mereka inginkan. Bukan pemberlakuan pajak dan izin yang harus diperoleh dua perusahaan kendaaraan berbasis aplikasi yang mereka tuju. Kelihatannya hanya satu tujuan mereka, Bubarkan Uber dan Grab, dan tentunya Gojek.

Smartphone dan berbagai teknologi lainnya memberikan beragam kemudahan bagi masyarakat. Tapi, kemudahan ini nampaknya menjadi candu karena kenyamanan. Menggilas para kendaraan yang sudah ada dari dulu. Aplikasi kah yang salah atau regulasi?

Tapi, ketika kita berpikir sejenak, perubahan akibat teknologi merupakan suatu hal yang pasti. Yang akan datang tanpa bisa dicegah. Aksi besar yang ada saat ini, bisa saja hanya memperlambat tapi tak menghentikan. Siapa pun dan apa pun tak berdaya di depan waktu.

Pada akhirnya, semua dipaksa untuk berubah, menyesuaikan, berinovasi. Ketika dunia berubah dengan cepatnya, hukum rimba mendadak berlaku, yang kuatlah yang menang. Semua yang tak mampu beradaptasi akan tergilas waktu dan perlahan menghilang. Lalu kejadian seperti yang terjadi saat ini, akhirnya hanya berakhir sejarah atau cerita.

Lalu, sampai pada titik ini, mungkin kita akan bertanya akan jadi apa negara ini ke depannya. Mau dibawa ke mana dunia dengan teknologi ini. Sebuah alat bermata dua yang menawarkan kenyamanan dan juga ketakutan. Bisa saja suatu waktu saya atau anda yang menjadi korban teknologi, menjadi korban waktu. Siapa tahu.

Bahkan Perusahaan sekelas Nokia saja tak mampu bertahan di tengah gilasan kemudahan yang diberikan smartphone. Hingga akhirnya perusahaan tersebut terpaksa bertekuk lutut dan diakuisi oleh Microsoft. Bagaimana dengan kita?

"We didn't do anything wrong, but somehow, we lost," CEO Nokia Last Speech