Sejak kecil saya memang menyukai berbagai drama dengan tema profesi tertentu, termasuk soal dokter. Tentunya drama favorit gw adslah General Rouge no Gaisen 2 yang main Nishijima Hidetoshi, ganteng hahaha. Tapi bukan itu poinnya. Film ini bercerita soal intrik rumah sakit dan praktek jual beli obat.

Mungkin sebagian mengira ini hanya cerita. Yah, tak sepenuhnya seperti itu tentunya. Berdasarkan majalah Tempo edisi bulan November (saya lupa edisi tanggal berapa). Disebutkan bahwa praktek suap obat adalah hal yang lumrah di kedokteran. Salah satu seksi atau bagian disebutkan merupakan salah satu lokasi terawan. Tapi untuk menghindari fitnah hahaha saya ga akan sebutkan.

Praktek komersialisasi pekerja bidang kesehatan seolah-olah biasa. Si miskin ga bisa masuk RS, dipaksa dirawat, sengaja kasih obat biar obatnya laku dll. Profesi dokter yang seharusnya berjasa jadi sedikit melenceng jadi ajang cari kerja. Profesi buat saya adalah sebuah pekerjaan dengan dedikasi penuh, sementara kerja ya cari uang. Walaupun memang ada juga dokter yang masih menjunjung tinggi profesinya.

Gak sangka gw jadi korban komersialisasi ini. Singkat cerita gw ngalamin demam tinggi tiga hari tiap malem, gw juga batuk. Gw kira gw db atau tipes. Maka kita cek darah. Hasilnya negatif, tapi ternyata ada hasil bawaan. Leukosit gw dua kali diatas normal. Tadinya ga ada niat ke RS, tapi berhubung dokter yang gw kenal gak praktek pergilah kita ke dokter internis di salah satu rumah sakit di Bogor. Di rumah sakit itu pula lah saya melakukan cek darah.

Berhubung ga tau dokter internis yang baik, saya iya iya saja waktu ditanya mau ke siapa. Sebelum masuk saya tau dia salah seorang petinggi di RS dan punya sejarah dengan kantor. Oke sebut saja dokter D. Begitu masuk saya ditanya beberapa pertaanyaan kemudian diperiksa. Singkat saja. Bahkan saya di ruangan tak sampai lima menit. Belum banyak bertanya, sang dokter memvonis dengan bronkhitis akut. Ktanya harus dirawat, obatnya gak bisa dimasukin dari luar dll, dia bilang ada kemungkinan gw pneumonia.

Oke saya hari itu sudah sehat sebenarnya, demam sudah turun, tinggal batuk. Tanpa melihat hasil ronsen, yang saat itu ga ada saya disuruh rawat inap. Skeptis saya bertanya tanya, tapi panik juga. Ditengah kebingungan dan paksaan rayuan yang meyakinkan dari sang dokter akhirnya saya menyetujui untuk rawat inap.

Setelah itu barulah saya dironsen, dan diambil darah (lagi). Meski hasil ronsen belum keluar saya sudah mendapatkan obat. Ketika dirawat saya tidak dapat menghitung berapa banyak obat infus yang diberikan. Belakangan saya tau biayanya cukup mencengangkan.

Hasil ronsen dibilang akan dibacakan sore. Tapi hingga malam tak ada dokter yang datang. Saya merasa sehat, makan baik, dan tidak demam. Karena sebal saya meminta adik saya dan seseorang yang saya percaya untuk meminta hasil lab. Dokter sendiri tak datang hingga malam. Hanya dokter piket dan ia pun tak berani menerangkan hasil ronsen. Hari pun habis tanpa kepastian sebenernya gw sakit apa.

Paginya usai shalat subuh entah mengapa saya kepikiran. Iseng saya browsing di internet. Saya menemukan nama dokter itu. Di sana disebutkan bahwa dokter tersebut suka menyuruh pasiennya menginap. Diagnosa nya pun seolah olah si pasien terkena penyakit berbahaya. Dalam hati saya cuma bisa nyengir "gawat gw kena tipu nih dokter kayanya".

Segera saya menghubungi keluarga saya, ayah saya datang mengambil hasil lab lalu pergi ke dokter yang dikenalnya. Saya ditinggal sendiri. Ternyata tuan dokter datang lebih awal ketika saya sendiri. Tanpa menjelaskan apa apa pada saya yang lagi duduk di kursi penjenguk sambil angkat kaki nonton drama korea, saya langsung diperiksa. Saya pun meringsek kembali ke kasur. Dia mulai menggerakan stetoskopnya, bergumam tak jelas negatif negatif.

Lalu tetiba dia bilang "kamu kena TBC kamu harus pindah ke ruangan yang sendiri". Oke ini dokter gila, detik itu pula lah saya memutuskan untuk keluar. Jawaban si Dokter pun tak memuaskan. Saya tau kalau TBC saya masih demam sekarang dan makan saya tidak nafsu, berat badan juga pasti turun. Saya pun sempat membaca hasil ronsen yang sudah dibaca oleh dokter paru di RS itu. Tulisannya bronkopneumoni. Jadi kenapa si dokter internis ini malah berani beda?

Setelah mengurus biaya rumah sakit yang bisa dipake beli laptop keluaran lama ukuran 14 Inch, saya pun pamit ke suster baik yang nemenin syaa kemarin. Sayup sayup saya dengar. "Dia baik baik aja keliatannya ya, sehat". Hhahaha memang kaliiii.

Usai pulang saya mendaftar ke dokter langganan keluarga. Dokter saraf kali ya bilangnya hehe. Dokter umum sih sebenernya. Sya sebut dokter R. Saya datang membawa hasil lab dan ronsen. Dia bilang kalau saya gapapa cuma pneumoni biasa. Tapi dia minta cek dahak. Yang esoknya saya lakukan dan hasilnya negatif.

Tapi saat itu batuk saya berdarah. Adalah sedikit kadang kadang. Berhubung bukan ahli paru dia minta ke dokter paru lain. Sebut saja namanya Dokter K. Katanya Dokter saya, dokter koko itu dokter yang bagus di bidangnya. Dokter saya ragu memberi obat karena kalau saya harus minum yang enam bulan dia khawatir dengan liver saya.

Loh liver? ya nilai SGOT SGPT saya tinggi. Sementara kalau minum obat itu, ia khawatir memperparah. Dia mau minta rekomendasi dokter paru. Anehnya nilai ini luput dari tuan dokter yang nyuruh saya nginap di RS, padahal beliau ahli di bidang itu, setidaknya dia dokter internis.

Melihat sebentar hasil lab dan ronsen dia dengan mantap bilang. "kamu gapapa ini, ini mah bukan TBC, masih nafsu makan kan? ga demam". Berbeda dengan Dr D. si Dr K ini bertanya banyak sebelum akhirnya saya disuruh berbaring untuk dicek dengan stetoskop. Keputusannya sama. Negatif. Katanya kalau TBC biasanya bakteri berkumpul di atas dulu. Ronsen saya normal. Padahal ketika saya divonis TBC, saya sempat tanya ke Dr D, tau dari mana? kata dia Ronsen.

Sempat berbincang dengan Dr K. Dia kaget dengan obat yang diberikan Dr D. Ada obat TBC di sana. Padahal, kondisi liver gw lagi gangguan juga. "Kamu berapa lama minum ini? hentiin aja," kata Dr K. Untung gw cuma nginep semalem dan obatnya cuma diminum dua hari hehhee.

Ia pun menjelaskan banyak soal penyakit ge. Yang ternyata gapapa. Cuma memang gw ada alergi jadi gampang sakit. Dia justru curiga dengan liver saya. Ia pun mengatakan tidak masalah kembali bekerja.

Denagn membawa hasil tersebut saya pun kembali ke Dr R. Dia sudah lega. Tak hanya obat paru dia pun memberikan obat liver. Dan begitulah akhirnya saya menjalani terapi hingga kini. 

Setelah pengalaman ini. Ternyata saya menerima komplen serupa soal Dr D dan juga rumah sakitnya. Seorang ayah teman sampai meninggal karena salah diagnosa. Dia diminta cuci darah. Karena kebanyakan obat ia pun meninggal. Ah, beruntung Tuhan masih ngasih petunjuk.

Aniwei, bahaya ternyata ketika profesi dimanfaatkan jadi ajang cari uang. Padahal dokter seharusnya jadi pekerjaan yang membantu orang, bukan sebaliknya menyesatkan. Yah semoga Dr D dan dokter lain yang melakukan praktek serupa segera sadar.