Proses Perakitan Kayu di IUPHHK-HA (Dokumentasi: Pribadi)
Making Indonesia 4.0 merupakan salah satu proyek ambisius yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada April 2018 lalu. Presiden Joko Widodo menilai revolusi industri keempat tak akan terhindarkan lagi dan akan segera terjadi, yang menurut laporan lembaga riset McKinsey pada 2015 dampak revolusi industri 4.0 akan menjadi lebih hebat dibandingkan dengan revolusi industri pada abad ke-19 yang merupakan revolusi industri pertama. Bahkan pembahasan mengenai hal ini berlanjut hingga ke pertemuan bilateral dengan Korea Selatan beberapa hari lalu, yang dalam kesempatan tersebut Presiden Joko Widodo mendorong agar investor Korea Selatan membawa dan memperkenalkan teknologi 4.0 ke Indonesia.

Untuk saat ini Presiden Joko Widodo menargetkan 5 sektor dalam proyek Indonesia 4.0 ini. Adapun sektor tersebut adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, dan industri elektronik.

Sebelum melangkah lebih jauh mungkin ada banyak yang bertanya-tanya mengenai Revolusi Indutri 4.0 ini. Sebagaimana dikutip pada Detik.com, revolusi industri pertama dimulai pada akhir abad ke-18 (atau awal abad ke-19) yang ditandai dengan munculnya alat-alat mekanis yang menggunakan bertenaga uap dan air. Kemudian pada abad ke-20 kemudian dimulailah revolusi industri kedua dimana produksi besar-besaran terjadi. Revolusi industri ketiga dimulai pada awal 1970-an yang ditandai dengan adanya penggunaan elektronik dan otomatisasi produksi. 

Saat ini dunia sudah mulai memasuki termin baru dari industri, yaitu industri keempat atau industri 4.0 Menurut wikipedia sendiri, gagasan mengenai industri 4.0 ini sendiri bukanlah merupakan hal yang baru. Industri 4.0 pertama kali dikenalkan pada 2011 lebih tepatnya pada acara Hannover Fair. Konsep dasar dari industri 4.0 ini sendiri pada dasarnya masih berupa otomatisasi, namun kali ini lebih berbasis pada jaringan, cloud, ataupun cognitive computing

Meski secara gamblang Indonesia baru berfokus pada sektor manufaktur saja saat ini, tapi saya menjadi sedikit bertanya, "akan dibawa ke mana sektor kehutanan pada industri 4.0 ini?". Pertanyaan simple tapi sebagai forester wajar jika saya bertanya demikian. Masalahnya teknologi merupakan hal yang lumrah saat ini. Bahkan bisa dibilang kita sangat tergantung pada teknologi, sebut saja smart home, smart tv, smart factory, dan smart-smart lainnya. Melihat jauhnya perkembangan teknologi saat ini, tentunya sektor kehutanan pun tak boleh tinggal atau kalah dengan perkembangan yang ada. Namun, pertanyaan selanjutnya, sudah siapkah kita?

Untuk menjawab hal tersebut mari kita melihat perkembangan industri 4.0 sektor kehutanan di negara lain, Kanada. Sadar mengenai pergerakan industri menjadi industri 4.0, kanada tergerak untuk melakukan revolusi indutri keempat di sektor kehutanan melalu FPInnovation.

Kanada melihat saat ini adanya gap yang terjadi akibat adanya gap penyebaran informasi yang tidak bisa dilakukan secara ril time di sektor kehutanan. Selama ini update data dari upper stream dari sektor kehutanan dipandang lambat dan menyebabkan kesulitan pengaksesan data. Dengan adanya inovasi industri 4.0 diharapkan sektor hulu kehutanan dapat lebih cepat dalam penyebaran informasi. 

Ada empat hal yang difokuskan dalam pengembangan industri 4.0 pada sektor kehutanan di Kanada. Empat hal tersebut adalah Real Environment, Internet of Forest, Data Analytic, dan Advanced procurement system. 

Hal yang pertama adalah pengumpulan data lapangan yang lebih spesifik dan detail (Real Environment) dengan menggunakan pengindraan jarak jauh dan teknologi pemanenan lainnya. Dengan menggunakan pengindraan jarak jauh diharapkan dapat dilakukan inventarisasi hutan yang lebih efisien. 

Menyadari bahwa dalam melakukan otomatisasi dan penyebaran data secara real time membutuhkan koneksi yang baik maka dalam menghadapi industri 4.0 perlu dibangun jaringan internet yang baik untuk itulah digagas Internet of Forest. Menurut laporan, hingga saat ini hanya 46% dari kawasan hutan yang sudah dapat mengakses jaringan seluler. Meski merupakan negara maju namun nyatanya masih ada keterbatasan jaringan dalam penerapan industri 4.0 di sektor kehutanan. 

Selanjutnya adalah data analisis. Mungkin ini yang sedikit menarik buat saya. Menggunakan database besar untuk menganalisis kegiatan pemanenan yang dilakukan. Dengan adanya data ini pemanenan dapat dilakukan dengan lebih efisien. 

Yang terakhir adalah menggunakan teknologi dalam kegiatan pengadaan. Salah satu hal yang digagas adalah dengan menggunakan AR atau augmented reality iya AR yang itu yang pakai kacamata itu. Dengan adanya AR ini bisa dilakukan pemantauan kondisi hutan tanpa perlu ke lapangan. Menarik bukan?
Ilustrasi Industri 4.0 (source: google image)
Nah itu, rencana Kanada, bagaimana dengan Indonesia? 

Pergerakan ke arah sana yang pernah saya tahu baru sebatas peningkatan SDM untuk level pemerintah. Memang meski demikian sudah ada beberapa hal yang dilakukan untuk pemanfaatan teknologi seperti pemantauan hotspot secara ril time. Pemerintah juga sudah mulai sadar dengan adanya basis data, hal ini dapat dilihat dengan dibuatnya one map policy. Meski memang perlu ditanyakan lagi efektifitas dari program tersebut. Selain itu, saat ini sudah banyak sistem monitoring yang terintegrasi dengan sistem, sebut saja simfoni, SIPUHH, dll. Tapi kembali lagi, SIPUHH misalnya, idenya sangat luar biasa melacak kayu hingga ke tunggaknya. Idelnya barcode ditempel bersamaan dengan penebangan, dan diupload saat itu. Nyatanya? Keterbatasan internet di kompartemen menyebabkan hal tersebut belum terealisasi. 

Pada dasarnya toh kita harus mengetahui bahwa luas Indonesia yang katanya 75% berupa hutan ini tentunya merupakan tantangan besar yang harus disadari oleh pemegang tampuk jabatan. Tentunya bukan hal yang mudah untuk mengatur luas hutan yang begitu besar dan lokasinya jauh dari pusat kota Apalagi yang kita ketahui bersama akses internet yang begitu terbatas pada hutan-hutan pedalaman nun jauh di sana. Padahal internet merupakan hal yang penting dalam penerapan industri 4.0. Akhirnya jika memang ingin bisa berjalan dengan baik industri 4.0 ini perlu ada inisiatif dari para pemegang konsesi untuk mulai berinvestasi untuk hal tersebut.

Untuk penerapan revolusi industri 4.0 ini saya justru lebih khawatir dengan kesiapan pemerintah baik di pusat dan di daerah. Dengan anggaran yang terbatas dan juga SDM yang tak semuanya mampu dan menguasai teknologi ini akan menjadi tantangan tersendiri. Sudahkan KLHK mengantisipasi hal ini?

Sebagai regulator sebenarnya gampang saja bagi KLHK untuk menginstruksikan pemegang konsesi untuk mengembangkan industri 4.0 ini di dalam sistem mereka. Namun, jika dari KLHK sendiri tidak siap saya khawatir data itu akan sia-sia atau lebih tepatnya kurang bisa digunakan. Apalagi selain internet, saya pribadi melihat untuk benar-benar bisa menggunakan industri 4.0 diperlukan basis data yang besar untuk melakukan data analis. Pengembangan teknologi dan model tentunya tak bisa dihindarkan dari data. Semakin lengkap, detail, dan komprehensif datanya tentu teknologi dan model yang dibangun pun akan semakin tepat. Tapi, apakah data kehutanan kita sudah se lengkap itu? Mungkin untuk saat ini belum. Salah satu kawan di FWI pernah bercerita bahwa ia tidak bisa menemukan beberapa dokumen yang sedang ia cari di KLHK. Jika pun ada, apakah KLHK sudah siap membuka datanya ke publik? itu pun menjadi tanda tanya besar untuk saya. Kalau memang KLHK sudah siap mungkin tidak akan ada sengketa terkait dengan KIP beberapa tahun lalu.

Saat sedang berdiskusi dengan seorang kawan, ia pernah bercerita mengenai gagasan atasannya soal pengelolaan hutan berbasis AI. Khususnya pengelolaan hutan di gambut. Wah, ide yang menarik. Tapi mengelola hutan secara manual saja data kita masih kurang, gimana untuk bangun model sampai akhirnya bangun AI? Bukan pesimis tapi realistis. Tapi melihat pergerakan industri sekarang, sudah sewajarnya sektor kehutanan mulai bangun. Buang jauh-jauh lagi anggapan bahwa kerja di kehutanan itu remote, terpenci, dan susah sinyal. Mungkin sudah saatnya KLHK merangkul Kemenkominfo, ataupun BUMN dan BUMS yang bergerak di sektor telekomunikasi untuk memfasilitasi pengadaan jaringan. Tak hanya itu, KLHK harus mulai merapihkan sistem datanya, dan berani mempublish data tersebut secara terbuka tanpa ada yang ditutupi (kecuali ada data konfidensial yang menyangkut keamanan negara misalnya).

Dan tentunya, selain penguatan di lapangan perlu juga penguatan SDM terutama generasi muda. Saya pribadi sadar ilmu kehutanan yang saya dapat di kampus kerap kali kurang terupdate dengan baik. Menyongsong era baru sudah sewajarnya univeritas sadar untuk menyiapkan forester terbaiknya di era digital ini. 

Buat gambaran, yuk mari dilihat video dari FPI.


Jadi forester, sudah siapkah kalian dengan Revolusi Industri 4.0?
Penampilan Syaharani bersama dengan Idang Rasjidi pada Dramaga Jungle Jazz 2018, Bogor 9 September 2018. (Dokumentasi: MNH)
Bogor -- Dalam rangka memperingati hari jadi Fakultas Kehutanan IPB yang ke-60, himpunan alumni fakultas kehutanan kembali menggelar HAPKA XVII atau hari pulang kampung. Seperti HAPKA yang sebelumnya, HAPKA tahun ini juga dimeriahkan dengan adanya Jungle Jazz Festival. Perayaan HAPKA ini sendiri dihelat pada 8 - 9 September lalu di Fakultas Kehutanan, IPB, Dramaga.

Kegiatan ini diramaikan oleh berbagai kegiatan dan lomba yang dimulai sejak tanggal 8 September 2018. Acara tersebut yaitu Lomba Foto Lingkungan dan Hutan Nasional, Seminar Nasional, Fun Off Road, Run 4 Jungle, Goes Asik, penanaman pohon, lomba gaple, dan Musyawarah Nasional HAE IPB. Pada tanggal 9 September yang merupakan hari puncak acara HAPKA ini turut digelar pula bazar, pameran foto, penganugerahan wanabhakti award, demo minyak atsiri dan launching website forest digest. Selain itu, sebagaimana perhelatan HAPKA setiap tahunnya, acara ini ditutup dengan Jungle Jazz Festival yang diadakan pada malam harinya.

Meski acara baru dimulai pada pukul 19.30 WIB, semangat menjelang acara penutupan ini masih begitu terasa. Terlihat dari antusiasme para alumni mulai dari angkatan 1 hungga angkatan alumni termuda yaitu angkatan 51. Tak hanya para alumni, baik dosen dan mahasiswa fakultas kehutanan pun turut menikmati jalannya acara ini.

Acara dibuka dengan penampilan ExE Band yang merupakan band jazz amatir yang dibentuk oleh para alumni fahutan IPB. Grup ini terdiri dari multi angkatan fahutan IPB yang terdiri dari Sri Nawangsih Ernawati (E25), Daud Kusna Irawan (G31), Yoga Hadiprasetya Wandojo (E41),  Iqbal Nizar Arafat (E47), Yuni Rismelia Buntang (E47) sebagai vokalis; Adrian Bestari (E23) pada bass;  Desi Suyamto (E26) pada drums; Iwan Tri Cahyo Wibisono (E31), Kasuma Wijaya (E31) pada gitar; Ginny Wening Galih (E48) sebagai vokalis dan pemain trumpet; Tabah Arif Rahmani (E55 PMDSU) pada saxophone; Aryo Adhi Condro(E55 PMDSU) sebagai keyboardis, dan Librianna Arsahanto (E33) sebagai manager.

Usai penampilan EXE Band, sederet artis turut diundang dalam memeriahkan Jungle Jazz Festival. Salah satunya adalah musisi Senior Idang Rasjidi yang selalu setia memeriahkan hari peringatan Fakultas Kehutanan IPB. Selain itu turut hadir pula Syaharani, Rika Roeslan, dan Ello.

Grup ExE yang turut meramaikan Dramaga Jungle Jazz. (Dok: Fahutan IPB)

Penampilan Sukima Switch, Pada Indonesia Japan Music Festival 2018 (dokumentasi: MNH)
Jakarta -- Siapa yang tak kenal duo asal Jepang satu ini, Sukima Switch (スキマスイッチ)merupakan salah satu duo yang cukup senior dan terkenal di Jepang. Digawangi oleh Takuya Ohashi Sebagai Vocal, dan Shintaro Sebagai keyboardis, duo ini merupakan musisi kondang di negara Sakura. Meski demikian memang patut diakui kancahnya di dunia internasional tidak se agresif boyband/girlband asal Korea ataupun salah satu band kenamaan Jepang One Ok Rock. Akan tetapi, tanpa promosi yang seagresif rekan-rekannya Sukima Switch mampu membuktikan popularitasnya di Indonesia dalam perayaan Indonesia Japan Music Festival 2018 yang diadakan di Plaza Tengara Senayan. Tampil selama 45 menit, duo ini sukses menyihir para penonton yang ramai memadati area festival tersebut.

Sukima Switch merupakan salah satu musisi yang turut hadir dalam peringatan hubungan diplomatik Indonesia - Jepang yang ke-60. Dengan mengusung tema Indonesia-Japan Always Together, peryaaan hubungan diplomatik Indonesaia-Jepang ini diisi dengan serangkaian acara seperti Jakarta - Japan Matsuri 2018 yang juga diadakan di Plaza Tenggara Senayan, dan Indonesia Japan Music Festival 2018 yang dimeriahkan oleh artis yang berasal dari keduabelah negara.

Dalam acara ini Sukima Switch diberikan kehormatan untuk mengisi acara Indonesia Japan Music Festival 2018, sekaligus sebagai performer pembuka dari festival musik ini. Konser Sukima Switch ini sekaligus merupakan penampilan Sukima Switch pertama di luar Jepang. "Ini merupakan penampilan kami yang pertama di Indonesia" kata Ohashi Takuya dalam video perkenalan yang diunggah oleh akun instagram @60thjpid. "Ini juga penampilan pertama kita di Asia," ujar Shintaro Tokita menambahkan pernyataan tersebut.

Line menjadi lagu pembuka dari Sukima Switch pada kesempatan kali ini. Lagu yang cukup upbeat ini merupakan single ke-23 Sukima Switch yang rilis pada 2015 lalu. Lagu ini juga merupakan lagu pembuka dari amime Naruto Shippuden yang ke-18. Usai menghibur dengan lagu yang bersemangat, Sukima Switch tampil dengan menyanyikan salah satu lagu yang paling hits milik mereka, Kanade (奏で). Kanade merupakan singke kedua Sukima Switch yang dirilis pada tahun 2004. Single ini sudah berkali-kali dicover oleh berbagai artis dalam negeri dan mancanegara, termasuk Kyuhyun dari Super Junior. Meski lagu ini bukan lagu baru, lagu ini masih merupakan lagu yang enak untuk didengar. Lagu ini bahkan di remake untuk OST One Week Friends yang rilis pada 2017 lalu.

Masih sedikit mellow, lagu ketiga yang dinyanyikan oleh Sukima Switch adalah Boku Note. Boku Note adalah single keenam yang rilis pada 2006. Single ini juga merupak OST Doraemon The Movie 2006 dan merupakan salah satu single kenamaan Sukima Switch. Usai dengan lagu sendu. Sukima Switch mengajak penonton untuk lebur bersama riuh perayaan. Kali ini mereka membawakan lagu Golden Time Lover. Soundtrack anime Full Metal Alchemist ini sukses membuat penonton ikut bernyanyi dan bertepuk tangan bersama. Lagunya yang familiar di telinga para penggemar Jepang ini memang pas untuk membuka rangkaian acara Indonesia Japan Music Festival.

Seolah tak ingin membiarkan semangat penonton turun, Sukima Switch memilih untuk membawakan single mereka yang berjudul Ah Yeah!. Lagu yang merupakan lagu soundtrack untuk anime Haikyuu ini merupakan single mereka yang rilis pada tahun 2014 lalu. Di kesempatan ini Sukima Switch akhirnya memilih untuk menyanyikan lagu Zenryouku Shounen untuk mengakhiri penampilan mereka. Lagu yang rilis pada tahun 2015 ini merupakan salah satu single hits dengan nada yang ceria. Meski hari telah bernajak malam lagu ini merupakan lagu penutup yang membakar semangat sekaligus pembuka rangkaian acara musik festival.

Meski ini merupakan penampilan pertama Sukima Switch di Indonesia, namun penampilan mereka ini ternyata merupakan salah satu penampilan yang ditunggu. Buktinya banyak fans Indonesia yang meramaikan lini media sosial terkait dengan penampilan Sukima Switch di Indonesia. Wajar saja banyak yang kaget jika pada akhirnya Sukima Switch tampil di luar Jepang. Apalagi pada penampilan terakhir Sukima Switch yang sangat mempesona bersama deretan artis lainnya dalam menyanyikan lagu Laskar Pelangi. "Saya sangat senang, karena ternyata banyak fans Indonesia yang tau lagu-lagu kami dan bernyanyi bersama," ujar Takuya Ohashi saat ditanya mengenai kesannya terhadap acara ini.

Dalam wawancara bersama kompas.com Sukima Switch mengaku terbuka untuk berkolaborasi dengan artis Indonesia jika diberikan kesempatan. Mereka mengatakan lagu Indonesia merupakan lagu yang enak didengar sehingga cocok untuk dinyanyikan tidak hanya di Indonesia tetapi juga negara lain.

Takuya Ohashi dan Shintaro Tokita di Indonesia Japan Music Festival 2018 (dokumentasi: MNH)

(English version will be released soon if I have time hehe. For the detail documentation, video still edited)