Bogor di hari minggu kini benar-benar berbeda. Jalanan penuh dengan mobil lalu lalang. Belasan pasangan yang di mabuk cinta mengisi jalanan. Kini malam minggu di Bogor tak pernah benar-benar sepi.

Hari sabtu dan minggu adalah hari yang paling menyebalkan untuk keluar. Apa boleh buat macet memenuhi jalanan. Angkot yang memang merupakan kendaraan utama mulai tersaingi puluhan mobil dan motor yang sebagian besar berasal dari negara sakura.

Jalanan di kota Bogor tak ada yang besar. Rata-rata hanya empat meter hingga enam mungkin. Aku tak pandai mengukur jarak. Yang jelas biasanya jalanan hanya mampu menampung dua mobil saja. Wajarlah jika Bogor dilanda macet setiap akhir pekannya.

Jika menyalahkan angkot, saya rasa tak masuk akal. Suatu ketika saya pulang tak terlalu larut, sekitar jam 10 an. Saya menanti angkot di jalan pajajaran, jalan utama di Bogor. Sayang, itu pun saya tak berhasil menemukannya bahkan setelah satu jam menunggu. Tapi kendaraan pribadi ramai memenuhi jalanan.

Bogor dulunya bernama Buitenzorg. Kota yang ditemukan Belanda saat menelusuri ke hulu Ciliwung. Awalnya, kota ini diperuntukan sebagai tempat peristirahatan. Wajar saja kota ini dekat dengan batavia dan udaranya yang sejuk. Inggris bahkan membangun Kebun Raya Bogor.

Sayang, pemerintah Indonesia dan Belanda kelihatannya tak sevisi dalam menentukan peruntukan Bogor. Kini Bogor kian padat. Upaya pelebaran jalan pun sulit. Yah, kiri kanan jalan sudah penuh dengan bangunan.

Bogor kota kecil itu kini sudah tak setenang dahulu. Ketika jalanan masih layak dilalui anak SD yang berjalan kaki sepulang sekolah. Hujannya juga sudah tak berhasil meredam keramaian.

Yah inilah perubahan. Kadang, perubahan mau tak mau mengikis memori.