Setiap orang punya alasan tersendiri kenapa ia memutuskan untuk naik gunung. Setiap orang punya tujuan sendiri ketika ia rela bersusah payah untuk menapakai sebuah puncak gunung. Setiap orang memiliki perbedaan dalam hal ini, begitu pula aku dan kau. Aku memutuskan untuk naik gunung untuk melihat pemandangan indah yang tersaji dalam keheningan. Sebuah keheningan yang aku butuhkan untuk kembali mengatur ritme hidup yang terlalu gemerlap ini. Sebagian lagi naik gunung untuk mendekatkan diri pada Tuhannya. Meski demikian, aku tak tahu apa alasanmu mendaki gunung.

22 tahun umur kita. Dengan jalan hidup yang berbeda aku dan kau, kita jatuh cinta pada puncak-puncak gunung. Dengan alasan yang berbeda pula kita tak pernah berhenti untuk kembali pada petualangan-petualangan itu.

Aku mengetahui bahwa hidup dengan alam begitu dekat rasanya dengan kematian. Walaupun hidup di kota pun tidak berarti memperpanjang hidup kita. Aku tahu rasanya takut ketika melepas adik-adik kita dalam tiap-tiap kegiatan latihan dasar. Mengkhawatirkan cuaca yang kerap kali berubah, mengkhawatirkan kesehatan mereka yang kita tak tahu kecuali mereka. Aku tahu bahkan itu berlaku sama padaku di setiap perjalanan. Apakah kita pendaki menantang kematian? Tidak aku tahu baik aku dan kau tak pernah berani menantang kematian. Hanya sekedar ingin menyicipi keheningan yang tak pernah kita rasakan di kota mungkin.

Saat aku menulis ini, aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali kita bertemu. Bahkan aku tak tau kapan kau mulai mencintai puncak-puncak dingin di atas awan itu. Semenjak kita beranjak dewasa kita tak pernah bertemu bukan? Bahkan untuk sekedar bertegur sapa. Ah apa dulu kau pernah menghubungi ku untuk meminjam tas gunung ku? Ya rasanya dulu sekali pernah. Tapi itu pun tak pernah bertemu langsung. Dulu terselip rasa bertemu denganmu mengobrol tentang gunung-gunung yang pernah kau daki. Ya berbagi cerita, lagipula seru bukan bertemu dengan kawan lama yang ternyata memiliki hobi yang sama setelah dewasa. Tapi itu tak pernah kulakukan. Aku dan kau sama-sama sibuk dengan rutinitas kita masing-masing.

Kini kau telah dipeluk dinginnya awan di puncak gunung. Aku tak bisa melangkahkan kakiku menuju rumahmu yang dipadati kerumunan. Kenapa ketika waktu mengijinkan kita untuk bertemu denganmu harus saat ini? Ketika kau sudah tak mampu lagi menjawab pertanyaanku, bahkan sudah tak mampu bercerita tentang semua cerita perjalananmu. Aku tak mampu membawa kakiku bergerak ke arah rumah yang dihiasi bendera kuning itu.

Kau tahu? Beberapa hari terakhir ini aku mendengarkan sebuah lagu tentang sebuah kehilangan. Mungkin ini pertanda. Entahlah.

Selamat jalan kawan. Maaf aku tak berani bertemu denganmu secara langsung. Selamat jalan kawan, kau yang mencintai gunung dan kini kau telah dipeluknNya dan kembali pada dingin pegunungan. Semoga kau bahagia di sana dan amalmu diterima di sisi-Nya. Selamat jalan iz

Why, why we born crying?
Then someday we go on to become a star, we will cry again
Why why, although we never learnt
we know how to shed a tears?
 
Why why the moon
Never say a word as it illuminates the dark?
Why why, although we know there are limit of our heartbeat
we still spend them wastefully?
 
Rather than trying to assign value based on the size of vessels we hold in our chest
I'd rather try to feel 'life' coming from the seeds within

What it means to life, surely is to let go little by little
Then at the last moment at your life, there are people by your side, while shedding their tears
With that alone, we will feel glad  
 
From heart to body, as body become heart
With all many inherited spiral involved
From the moment we perceived of this repetition as eternity all of the scenery before our eyes
Becoming part of the cosmos 
 
--Sukima Switch - 星のうつわ (star vessel)