Jakarta - Sore itu, suasana begitu sendu, senandung lagu yang berjudul Salah Mongso dan Segoro Hilang Manise bergaung di Jalan Merdeka Utara. Lagu berbahasa Jawa itu tampak begitu menyayat hati, seolah-olah suara itu adalah jeritan hati para wanita yang bersiap menyemen kakinya ini. 

Lagu ini bercerita apabila pegununang Kendeng rusak. Sebuah lagu turun temurun yang ada di daerah tersebut. Lagu yang mengajarkan pentingnya menjaga linkungan. Lagu Salah Mongso, misalnya, mengajarkan agar gunung tidak dirusak dan pentingnya menjaga pepohonan. Tujuannya, untuk mencegah agar banjir bandang tidak terjadi.

Sesosok wanita, Deni (28), sehari-harinya berprofesi sebagai petani di Grobogan. Raut wajahnya tak gentar saat ditanya kesiapannya mengecor kakinya. Dengan tegas ia mengatakan akan melakukan hal ini jika dapat membuat pimpinan negara melirik perjuangan masyarakat pegunungan Kendeng. Sembari tersenyum ia mengaku tak takut. "Tidak, saya tidak takut," kata Deni di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa, 12 April 2016.

Namun, matanya tampak berkaca-kaca ketika berbicara mengenai kondisi lingkungan di kampung halamannya. Berkali-kali ia menyapukan selendang untuk mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Keberaniannya berganti kesedihan saat bercerita mengenai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi akibat pabrik semen. 

Deni mengakui, dampak pabrik semen belum terlalu terasa saat ini. Namun, ia tak kuasa menahan tangis saat membayangkan apa yang mungkin menimpa anak cucunya jika pabrik semen ini terus berproduksi. "Yang saya takutkan kalau pabrik semen ini merusak pegunungan Kendeng, dampaknya nanti bisa sampai ke anak cucuk saya," ujar Deni sembari menyeka air matanya.

Bersama Deni, masih ada sembilan srikandi pegunungan Kendeng lainnya yang merelakan kakinya disemen. Sembilan wanita yang berasal dari kawasan pegunungan Kendeng ini tersebar dari Grobogan, Pati, dan Rembang. 

Dengan menggunakan kebaya, selendang, dan caping sembilan wanita ini dengan berani berdiri di depan kotak berukuran 100 x 40 cm. Nantinya mereka akan mengecor kakinya. Kesembilan wanita pemberani ini berasal dari wilayah yang berada di sekitar kawasan pegunungan kendeng, diantaranya adalah Pati, Grobogan, dan Rembang. Mereka adalah Sukinah, Supini, Murtini, Surani, Kiyem, Ngadinah, Karsupi, Deni, dan Rimabarwati.

Pegunungan Kendeng meliputi sejumlah daerah di Jawa Tengah, seperti Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan. Terdapat beberapa pabrik semen di daerah ini. Diantaranya adalah PT Semen Indonesia yang berada di Rembang. Pabrik semen ini berdasarkan investigasi Tempo, memiliki dokumen Amdal yang ganjil. Misalnya dari segi proses yang dinilai tidak memperhatikan sejumlah poin. 

Menurut dokumen Amdal, mata air tidak ditemukan di sana. Padahal, menurut hasil investigasi Tempo, mata air jelas ada di daerah tersebut. Dan, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan kawasan tersebut, yakni Watuputih sebagai kawasan CAT (Cadangan Air Tanah).

Meski sudah diprotes, toh, penambangan ini masih berlanjut. Sementara pabrik semen di Pati masih dalam proses persidangan di PTUN. Aksi ini juga pernah digelar tahun lalu namun tak digubris pemerintah. Karena itu, masyarakat pegunungan kendeng kembali menggelar aksinya. Menurut para pendemo aksi ini akan digelar hingga Presiden Joko Widodo menemui mereka.

Salah seorang petani yang turut menemani, Ngatemi (42) mengatakan, meski di daerahnya pabrik belum dibangun lantaran masih menjalani proses di pengadilan. Namun, ia tidak rela kampung halamannya dibangun pabrik, apaalgi lokasi rumah Ngatemi dari tambang kurang dari setengah Km. "Kita enggak apa-apa gak ada tambang, wong kita makannya nasi kok, bukan semen," kata Ngatemi.

MAWARDAH NUR HANIFIYANI


Berdasarkan Twitter dari jangka waktu awal Maret hingga saat ini, ternyata isu reklamasi di Indonesia paling banyak dibicarakan di Jakarta. Mungkin efek reklamasi teluk Jakarta. Selanjutnya, diluar dugaan, saya kira teluk benoa di Bali yang tinggi, ternyata di Makassar hehe.