poetry
Hadiah Senja
Kicau burung pagi hari mungkin tak terdengar, hanya alarm yang berani berteriak minta dimatikan. Sudah kutekan tombol tunda berkali - kali. "Sebentar dulu" Kataku. Aku tengah bermain di alam mimpi. Ketika jarak antara kau dan aku begitu dekat. Tak perlu kendaraan apapun untuk bersua, tak ada lagi batas yang meniadakan kita. Betapa aku begitu merindu saat - saat itu. Ia yang datang dan pergi dalam imaji. Yang bahkan tak terungkap di alam nyata. Ingin rasanya aku terbangun dan mendapati ia ada, tapi imaji akan selalu berakhri menjadi imaji. Setidaknya imaji itu begitu indah bagiku.
Genap sepuluh menit alarmku kembali berceloteh mendendangkan lagu tentang cinta. "Berisik!" pikirku. Tak perlu kau dendangkan sebuah senandung cinta karena aku sudah mendengarnya dalam mimpiku. Kutekan lagi tombol tunda di hp ku itu yang hanya bisa meresah dongkol karena tak dihiraukan. Aku belum mau bangun, ia tengah mengajakku bermain ke alam pikirnya. Sesuatu yang bahkan tak bisa kutembus seandainya aku terjaga. Sebuah kesahajaan akan rasa yang menyelinap di pikirku, menyergapku di alam mimpi yang membuatku sulit beranjak. Kesahajaan itu mungkin tak akan kudapat lagi ketika aku mulai menapaki jalan ini karena manusia terlalu senang bermain. Yah aku juga sama saja sebenarnya. Tapi dia, ya dia begitu berbeda.
Hari itu, sebuah sore kala lembayung mulai menyusupi langit. Aku tidur - tidur ayam di kamarku yang yanya berukuran 4x3 meter. Aku tak suka kamar yang besar, itu membuat hatiku tersusupi rasa sepi. Tanpa kusadari mataku mulai terpejam dan saat aku membuka mata kudapati aku tak sedang di kamarku. Entah tak tahu dimana. Hanya saja aku tahu angin masih berdesir di sana. Mempermainkan daun - daun yang bergemerisik genit. Sesosok itu muncul hanya selewat entah siapa dia, tapi ada yang berbeda padanya. Mungkin mimpiku telah menggambarkan imajiku dengan sempurna. Bahkan aku sendiri tak tahu seperti apa imajiku. Aku tak sempat memikirkan hal semacam itu. Dunia nyata telah merangkulku dalam kegamangan fana.
Rupanya aku telah tenggelam dalam mimpi. Sebuah hadiah senja bagiku yang kelelahan. Rupanya ia mampu menangkap ceritaku akan rasa penasaran akan sebuah rasa. Sebuah rasa yang kata orang candu. Aku tak tahu, karena aku tak sempat atau mungkin aku tak peduli. Senja mungkin merasa kasihan padaku. Maka ia memberikan sesosok imaji yang begitu nyata dalam mimpi. Menyuruhku belajar agar aku tak menjadi pribadi yang angkuh.
Aku menyebut sosok itu sang idealis karena aku tak tahu harus memanggilnya apa lagi. Tubuhnya tegap dengan senyum yang memikat. Pikirnya diselimuti ide brilian. Sebuah sapa kuberanikan, toh ini hanya mimpi. Dan kami pun berbicara, membicarakan apa saja hingga waktu terlupa. Membuat sang waktu merasa iri. Ia memandang kami dengan congak, tapi ini mimpiku ia tak berhak menghentikan waktu dalam duniaku. Ketika itu dunia kecilku seakan bersorak kegirangan saat sang waktu pergi dan mengalah. Aku mengela nafas lega, setidaknya aku masih bisa bercengkrama sejenak. Sejenak begitu berarti seandainya kau berada dalam dunia yang akan segera berakhir.
Dan benar saja, tak lama alarm ku pun berbunyi. Merentang jarak antara aku dan dia. Ah! Sial rupanya sang waktu masih iri! Aku pun merutuki sang waktu dalam hati. Dalam nyata aku tak kuasa mengehentikan waktu. Ternyata memang kenyataan lah yang memegang kendali bukan mimpi. Setidaknya senja saat itu telah mengajarkan banyak padaku.
0 talks:
Post a Comment