Saya selalu bermimpi
ada sebuah hutan di tengah kota, dimana gedung – gedung menjulang tinggi dengan
pepohonnan rindang yang mengelilinginya. Mobil – mobil dengan bahan bakar alternatif
yang ramah lingkungan melaju sepanjang jalan. Kendaraan umum penuh oleh orang
yang menjadikan kendaraan umum alternatif untuk berangkat kerja. Tak jauh dari
sana sebuah taman menghampar luas dengan segala bunga – bunga bermekaran dan
dengan sebuah danau buatan yang di dalamnya terdapat turbin listrik tenaga air
yang selalu disinggahi keluarga yang hendak berakhir pekan. Saya memimpikan
gunung – gunung hijau menjulang tinggi dimana masyarakat di sekitar dapat
memanfaatkannya. Mereka membangun sawah dan perkebunan dengan memanfaatkan air
bawah tanah yang datang dari gunung terdekat. Sungai – sungai yang mengalir
jernih mereka manfaatkan untuk kehidupan sehari – hari dan penggerak turbin
listrik. Buah – buah hasil perkebunan diproduksi dengan skala besar hingga
mampu memenuhi kebutuhan ekspor. Limbah sawah dan perkebunan dimanfaatkan untuk
makanan ternak, sementara limbah perternakan dimanfaatkan menjadi kompos dan
bahan bakar biogas. Sinar matahari sepanjang tahun khas negara tropis
dimanfaatkan dengan menggunakan panel – panel tenaga surya, mensuplai listrik
untuk desa – desa di sana. Bahan bakar minyak hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan industri sementara sisanya diekspor.
Dengan kekayaan alam membentang
dari sabang sampai merauke harusnya semua ini bukan hal mustahil. Dengan ribuan
sarjana yang lulus tiap tahunnya inovasi tentunya bukanlah masalah. Akan
tetapi, apa ini? Setiap tahun berita banjir merajalela. Perebutan hak – hak
atas hutan dilakukan terhadap masayarakat adat, dengan dalih keberadaan
masyarakat tersebut tidak diakui oleh undang – undang. Masyarakat pinggir hutan
menjadi masyarakat dengan kesejahtraan yang rendah bahkan tak jarang berselisih
dengan pihak taman nasional. Blue print pembangunan kota yang seharusnya
dijadikan taman diubah menjadi hotel – hotel yang memiliki pajak bangunan
tinggi. Kendaraan pribadi tumpah ruah ke jalanan menyebabkan macet
berkepanjangan dan polusi. Kebutuhan hidup tak jarang harus diimpor dari luar
negeri akrena gagal panen. Sebenarnya ada apa dengan negara kita? Walaupun
negara kita dikenal sebagai jamrud khatulistiwa, negara tropis dengan sumber
daya melimpah mengapa masyarakat kita masih tak mampu mengecup kekayaan alam
ini.
Negara mana yang tak tergiur oleh kekayaan
alam yang dimiliki oleh Indonesia, bahkan catatan sejarah turut menyebutkan
bahwa Indonesia dijajah lebih dari satu negara dikarenakan kekayaan alamnya.
Hutan – hutan kita membentang luas di seluruh pulau. Lebih dari 50% wilayah
kita tercatat sebagai kawasan hutan dibawah pengawasan departemen kehutanan.
Selain itu, laut yang luas juga turut membentang mengitari pulau – pulau kita
yang banyaknya tak terkira. Kekayaan alam maha luas yang seharusnya
menghantarkan kita pada kesejahtraan, tetapi apa ini. Bukankah masyarakat kita
masih berada pada ambang kemiskinan. Ada apa ini, mengapa bahkan kita tak
merasa memiliki semua kekayaan ini. Terasing pada tanah sendiri tanpa tahu
kenapa. Adakah yang salah dengan pemahaman segala kekayaan alam dikuasai oleh
negara untuk kesejahtraan masyarakat. Kenapa pemerintah dan masyarakat justru
saling berselisih paham dalam hal kepemilikan sumberdaya alam, aneh.
Bahkan kekayaan alam
yang kita miliki sering kali kita gadaikan dengan harga murah. Negara – negara
asing itu membeli hutan kita tapi dengan harga murah. Sebegitu murahkah harga
hutan kita? Sementara mereka membeli hutan kita dengan harga murah, tidak
tahukah kalian bahwa di luar sana banyak perusahaan kayu terancam gulung tikar
karena sumber bahan baku mereka telah menipis. Bukan hanya itu, para petani
hutan rakyat yang seharusnya diberikan penghargaan karena telah melakukan usaha
penghijauan malah dipersulit dengan segala sertifikasi yang diterapkan negara
asing. Bukankah insentif yang seharusnya diberikan pada mereka, bukan segunung
peraturan yang rumit?
Dosen saya bilang, kita
seharusnya merasa beruntung tinggal di Indonesia. Sumberdaya banyak, hujan dan
matahari tercukupi tiap tahunnya. Hidup bermodalkan kaos kutang dan celana
pendek saja sudah bisa hidup. Dari pulau sabang hingga merauke terbentang luas
hamparan hijau hutan tropis yang merupakan paru – paru dunia. Tidak ada negara
negara yang tidak merasa iri pada negara kita, buktinya dulu mereka berlomba –
lomba menjajah negeri ini. Sumber daya kita memang sebuah anugerah yang tidak
tergantikan oleh apapun, tetapi di sisi lain sumber daya kita bagaikan pisau
bermata dua. Seolah menjadi tumbal dunia akibat pemanasan global, ruang gerak
Indonesia sebagai paru – paru dunia seolah dibatasi.
Kenyataannya, dengan
banyaknya sumberdaya yang kita miliki tidak semua masyarakat berada dalam taraf sejahtera. Banyak stakeholders yang berbicara soal kelestarian lingkungan, tetapi
tidak memperhatikan masyarakat yang ada di dalamnya. Dalam pandangan saya
kelestarian tidak dapat terwujud tanpa bantuan masyarakat. Hal yang paling
penting adalah bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat melalui peningkatan
kesejahteraan mereka. Sebuah cerita tentang kasus yang saya temukan di lapangan
tentang pembalakan liar di sebuah taman nasional. Sebelum daerah tersebut
ditetapkan sebagai taman nasional daerah tersebut merupakan hutan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Banyak masyarakat
yang menanam pohon dan bambu di wilayah tersebut. Sekarang setelah kawasan
hutan tersebut berubah statusnya menjadi taman nasional, otomatis segala
aktivitas pemanfaatan yang berada dalam kawasan taman nasional dilarang
dilakukan. Pohon dan bambu yang mereka tanam tentu saja tidak boleh ditebang,
padahal mereka yang menanamnya. Kebanyakan dari para pelaku pembalakan liar
tahu bahwa dalam wilayah taman nasional tidak boleh melakukan penebangan,
tetapi tentu saja dipandangan masyarakat pihak taman nasional telah merampas
salah satu sumber penghidupan mereka.
Tentu saja itu hanya
salah satu contoh kisah yang saya temukan. Kita merupakan zamrud khatulistiwa,
dengan hutan yang membentang luas dari sabang hingga merauke. Keanekaragaman
hayati yang dengan mudahnya kita temui di dalam pelosok hutan. Seharusnya
masyarakat yang hidup di pinggir hutan bisa hidup dengan sejahtera. Kontrasnya
masyarakat pinggir hutan justru memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Mereka
biasanya berada di wilayah yang sulit dijangkau. Jangankan supermarket, toko
klontong saja agak sulit untuk ditemukan. Untuk kepasar saja mereka harus pergi
cukup jauh padahal harga bensin tidak bisa dibilang murah. Kemana perginya
subsidi BBM, bukankah subsidi BBM seharusnya ditujukkan bagi mereka? Mereka
yang terlupakan, padahal dalam melakukan upaya kelestarian peran merekalah yang
paling dibutuhkan. Bagaimana bisa upaya pemerintah dalam melakukan peningkatan
kelestarian dapat dilakukan jika kepercayaan mereka terhadap pemerintah saja
tidak ada. Masyarakat pinggir hutan bukannya tidak berilmu dan berpengetahuan.
Keadaan yang kerap kali menyebabkan mereka bertindak berkebalikan dari apa yang
diwariskan nenek moyangnya. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri terdapat
oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab juga, tapi toh di kalangan elit yang
berpendidikan oknum tidak bertanggung jawab juga ada.
Dinas Kehutanan semakin
gencar memperbanyak wilayah kawasan hutan, dinas pertambangan mengklaim dinas
kehutanan untuk pembebasan lahan menjadi tambang, dinas pertanian mengeluhkan
lahan pertanian yang semakin berkurang, Pemerintah daerah atas nama otonomi
daerah mengacak – acak master plan mendahulukan pihak yang dapat memberikan
bayaran paling besar. Mereka, kaum elit saling berebut wilayah kekuasaan. Dinas
kehutanan mengatasnamakan kelestarian, yang lainnya mengatasnamakan peningkatan
kesejahtraan, demi pembangunan dan sebagainya. Aneh, apa kelestarian harus
selalu bertentangan dengan kesejahtraan dan pembangunan. Sementara mereka
tengah adu mulut, pihak – pihak yang sebenarnya paling membutuhkan justru
dilupakan.
Hutan bukan tuhan yang
wajib diagung – agungkan. Hutan juga bukan satu – satunya solusi untuk
menyelesaikan masalah yang ada terkait kelestarian lingkungan. Memperbanyak
kawasan hutan, tapi kemudian kawasan ini bahkan tidak berhutan sama sekali
rasanya sama saja. Tentunya yang paling penting adalah mengoptimalkan fungsi
hutan sehingga bukan saja fungsi lindung dan konservasi yang dapat diwujudkan
melainkan fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga dapat terwujud.
Ada peran masyarakat yang sangat besar di sini. Kelembagaan yang kita miliki
seharusnya telah cukup baik untuk menjalankan segala kebijakan guna mewujudkan
kelestarian lingkungan. Overlapping dari peraturan tentunya harus turut dikaji
oleh pihak – pihak berwenang. Sudah bukan zamannya lagi untuk mementingkan ego
sektoral semata. Meninggikan ego sektoral bukan hanya memperparah kerusakan
lingkungan, melainkan turut menggadaikan sumberdaya yang kita punya ke pihak
tak bertanggung jawab. Sudah sewajarnya kita belajar dari sejarah, trek record
kita menyebutkkan bahwa masyarakat adat kita memiliki kearifan lokal dalam
melestarikan lingkungan. Sudah saatnya kita kembali belajar pada mereka bukannya
membuang mereka. Sudah saatnya pula kita membuka mata dan melihat potensi yang
dimilki oleh negara ini. Dengan banyaknya kelimpahan sumber daya bukannya tidak
mungkin kita menjadi negara dengan sumber bahan bakar alternatif terbanyak.
Dengan sumberdaya alam yang kita milki kita bisa menjadi negara yang lebih maju
daripada negara manapun. Kesejahtraan masyarakat pun bisa turut terangkat.
Walaupun semua terlihat mudah, tetapi tidak ada yang mudah memang.
Maju atau
mundur itu pilihan, mau tetap tertidur dan menutup mata pun silahkan. Hanya
saja, kita, generasi muda yang
memutuskan mau dibawa kemana masa depan negara kita.