Waktu

Nira--- Hari itu aku dan kau untuk pertama kalinya bertemu. Saat itu hujan tenah turun. Hal yang biasa terjadi ketika november tengah meghampiri. Tak masalah karena aku menyukainya. Hari itu kau berlari ditegah hujan secepat kau bisa. Menghampiri halte bus yang kelak akan ku ketahui bahwa itu adalah rute mu pulang. Di tengah hiruk pikuk pengendara motor, termasuk aku yang tengah berteduh kau berdiri sambil mengelap air hujan yang mengalir pada hidungmu yang mancung itu. Aku memperhatikanmu dengan jelas. Sangat jelas. Kau berdiri tepat di depanku. Walau itu pertama kali kita bertemu aku tahu kau telah menarik perhatianku. Menghisap udara yang berada di antara kita. Melambatkan air hujan yang tengah turun menjadi butir - butir yang jatuh satu - persatu. Kalau ini semua kebetulan maka aku harap kebetulan ini akan terjadi kembali kelak. Tak lama aku mendengar klakson di kejauhan. Rupanya bus yang akan kau naiki telah datang. Pintu bus terbuka seorang karyawan bis membuka pintu dengan raut kesal karena bus sulit merapat karena pengendara motor yang memarkir sembarangan. Kau pun menaiki bis itu. Dan bis perlahan meninggalkan tempat ini. Kalau ini kebetulan semoga aku dapat bertemu lagi dengannya.

Ardi--- Hari itu hari hujan. Aku membencinya. Aku memacu langkah kakiku menuju halte bis yang biasa mengantarkanku pulang. Seperti biasa pengendara motor pasti parkir sembarangan lagi. Aku sudah terbiasa meskipun sedikit kesal. Halte ini terlalu ramai, semoga bis yang kutunggu segera datang. Terlalu banyak orang disini. Aku benci keramaian. Lebih tepatnya aku benci hampir semua hal saat hujan turun. Di belakangku seorang gadis tengah berdiri dengan raut muka tak terbaca. Tampaknya dia kedinginan. Baju dan celananya basah kuyup. Tangannya memegang helm. Sementara dari rambutnya air menetes pelan. Dia seorang wanita biasa. Tak cantik ataupun seksi. Hanya saja ia berebeda. Berbeda? Entahlah aku juga tak tahu apa maksudnya. Aku tak sengaja memperhatikannya saat tengah berlari ke sini. Mungkin ia memang menarik, tapi waktu memang senang bermain - main. Ia hanya kebetulan yang aku lihat. Toh ketika bis datang maka semua kebetulan ini juga akan berakhir. Kebetulan tidak akan datang dua kali. Yah aku yakin itu. Ah, bis telah datang sudah kubilang waktu hanya senang mempermainkan kita. Takdir? Tak ada yang semacam itu. Aku pun menaiki bis yang perlahan mulai maju. Tapi entah kenapa sudut mataku tetap tertahan pada halte yang lamat aku tinggalkan.

Nira--- Aku menyukainya. Hal ini mungkin memang aneh menyukai seseorang yang bahkan tak pernah ku kenal. Aku selalu memacu motorku pada jam yang sama ke arah halte tempat ia menunggu bisnya. Kadang aku berhenti di kios makanan. Beralibi mengajak seorang teman bersamaku untuk makan pada kios makanan yang berada di sebrang halte tersebut hanya untuk menunggui ia hingga ia naik bisnya. Kalau aku sedang cukup nekat aku mengikutinya naik bis dan turun satu halte setelah ia turun. Aku tahu namanya dari temannya yang tengah memanggilnya. Aku tahu kebiasaannya tertidur saat di bis. Aku tahu ia senang mendengarkan lagu dengan headsetnya. Aku tahu pengarang kesukaannya dari buku yang selalu ia bawa. Aku tahu ia akan selalu mengalah memberikan tempat duduk saat ada wanita yang berdiri. Aku tahu ia kuliah di jurusan apa dari pembicaraannya di tekepon. Tapi aku masih tak berani menegurnya. Berpikir bahwa mengamatinya dari jauh sudah cukup. sama seperti hari ini ia berdiri di sampingku dalam bis yang tengah melaju. Dan aku masih tetap diam. Aku memang pengecut. 

Ardi--- Aku percaya kebetulan tidak pernah datang dua kali. Tapi kali ini kebetulan memang datang dua kali atau bahkan lebih. Bagaimana bisa? Aku tak pernah mempercayai waktu karena ia tak pernah serius. Aku tak tahu kenapa gadis yang kutemui di halte pada hari hujan itu selalu muncul. Aku sering melihatnya melintas perlahan dari halte tempat aku duduk. Terlalu sering,. Ia selalu melaju di jam yang sama. Kadang aku melihatnya tengah bersama temannya, duduk di kios makan yang berada di sebrang halte ini. Entah kenapa aku pun selau berusaha pulang di waktu yang sama setiap hari. Aku tak tahu hal apa yang memacu kakiku melangkah tergesa ke arah halte. Memaksakan diri agar bisa sampai tepat waktu di jam yang sama. Apakan ia menyadariku? Ah, apa yang sebenarnya tengah aku lakukan mengenalnya pun tidak. Kadang ia menaiki bis yang sama denganku. Mungkin motornya tengah diservis, aku juga tidak tahu pasti. Aku ingin menegurnya atau sekedar menyapanya, tapi orang asing yang menyapa seorang gadis di tengah jalan tidak terdengar menyenangkan bagiku. Hari ini ia berdiri di sebelahku. Entah kenapa bis ini berjalan begitu cepat. Aku tentu saja tak menyapanya. Apa aku seorang pengecut?

Nira--- Kata orang cinta datang dengan cepat. Kau tak tahu kapan ia akan datang ataupun kapan ia akan pergi. Hanya saja ia akan selalu datang berulang hingga akhirnya kau menemukan yang tepat. Entahlah aku sendiri juga tak yakin soal itu. Bagiku perasaan semacam itu adalah hal yang menakutkan. Kau bisa saja merasa bahagia namun di lain sisi kau akan menemukan dirimu tengah menangis. Aneh. Tapi apa kau tahu untuk mulai melangkah keberanian memang selalu diperlukan. Lalu dalam perjalanannya kejujuran akan mendampinginya. Mungkin memang perlu bagiku untuk mulai percaya dan melangkah berdampingan.
Ardi--- Bagiku waktu memang senang bermain - main. Menempatkan semua situasi pada waktu yang tak pernah disangka - sangka. Kenapa ia begitu senang melakukannya? Tidakkah waktu tahu bahwa adakalanya seseorang merasa tak siap. Waktu memang egois ia selalu memaksa seseorang untuk mengeluarkan keberaniannya kapanpun. Ia tak mengenal kata tidak siap. Memaksa kita untuk tetap melangkah. Bahkan pada keputusan yang telah kubuat ini, permainan waktu memegang peranan penting. 

Seandainya waktu mau menunggu mungkin aku tak akan pernah membuat keputusan ini. Seandainya waktu tak egois mungkin aku tak akan pernah menemukanmu.

Lagi - lagi waktu berhasil mempermainkan kita.

0 talks: