Agroforestri dan Ketahanan Pangan

Banyak orang masih salah presepsi mengenai ketahanan pangan. Ketahanan pangan kerap kali dianggap mengandung arti hanya dalam aspek produksi. Aspek produksi yang dimaksud di sini adalah kemampuan masyarakat dalam penyediaan pangan. Padahal ketahanan pangan mencakup aspek produksi, distribusi, dan akses. Proses distribusi ini sendiri adalah bagaimana kebutuhan pangan didistribusikan merata ke seluruh elemen masyarakat. Aspek akses adalah kemampuan masyarakat untuk membeli atau mengakses kebutuhan pangan mereka sendiri.

Apabila dilihat dari aspek produksi konversi lahan menjadi areal pertanian merupakan salah satu cara guna meningkatkan ketahanan pangan. Lahan yang semakin langka membuat konversi lahan ini nyaris tidak mungkin. Salah satu cara agar lahan pertanian tersedia adalah dengan membuaka wilayah hutan sebagai areal pertanian. Akan tetapi, wilayah hutan yang semakin kritis membuat konversi lahan tidak memungkinkan dan pasti akan menimbulkan pertentangan dari para penggiat lingkungan.

Untuk menghindari hal yang demikian mempertahankan ketahanan pangan dengan cara agroforestri dapat menjadi salah stau jalan keluarnya. Agroforestri merupakan salah satu bentuk sistem pertanian tempat hutan dan pertanian bertemu, tempat struktur hutan dan logika pertanian bersimpangan (ICRAF). Agroforestri merupakan cara meningkatkan ketahanan pangan tanpa merusak ekosistem.
Pola agroforestri diperlukan karena bisa menjamin produktivitas lahan dalam jangka panjang, dengan cara misalnya melakukan penjarangan dan pemangkasan tanaman pokok dan pemilihan jenis – jenis tanaman tahan naungan yang sesuai dengan agroekosistem setempat dan mempunyai nilai ekonomi bagi petani (Djaingastro et al. 1993)
Pada pertanian biasa kita sering kali dihadapkan pada pembukaan lahan besar – besaran untuk dijadikan areal pertanian maupun perkebunan. Hal ini diataranya menyebabkan rusaknya ekosistem hutan. Ambil contoh peristiwa di Kalimantan beberapa bulan yang lalu. Pembukaan areal hutan menjadi wilayah perkebunan kelapa sawit menyebabkan orang utan kehilangan habitat aslinya dan akhirnya terpaksa hidup dengan memakan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan pengelola perkebunan menganggap orang utan sebagai hama dan kemudian membantai mereka. Padahal orang utan itu sendiri sudah tidak memiliki habitatnya lagi akibat pengkonversian habitatnya menjadi kebun kelapa sawit.

Sistem agroforestri ini juga dapat tetap menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat yang hidup di dalam hutan yang saat ini kian tergusur. Selama ini kebijakan kerap kali dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat. Masyarakat adat dianggap hanya sebagai penghambat modernisasi (Gunawan et al. 1998). Selain masyarakat adat, masyarakat pinggir hutan juga menjadi lebih dapat mengambil manfaat dari hutan untuk menjamin kemampuan mereka untuk mengakses kebutuhan pangan. Misalnya pada suatu kecamatan di Ciapus, masyarakat diberikan kesempatan oleh perhutani untuk menanam popohan. Hasil dari penjualan ini mereka gunakan untuk membeli kebutuhan pangan.

Dapat meminimalisir resiko gagal panen dan juga penghasilan yang di dapatkan akan lebih besar. Hal ini dikarenakan tanaman yang ditanaman berbagai macam. Pertanian pada umumnya melakukan prinsip monokultur, apabila sedang mewabah hama atau penyakit tertentu tanaman tersebut lebih rentan terserang penyakit dan terancam gagal panen.

Agroforestri juga dapat berperan sebagai konservasi tanah. Pada pertanian penghanyutan dan pencucian zat hara yang hilang diperbesar (Sarwono, 2010). Disamping itu tanaman yang dipanen juga turut ambil andil dalam hilangnya unsur hara dari dalam tanah. Oleh karena itu, tanah bekas hutan yang digunakan intensif sebagai lahan pertanian akhirnya tidak dapat dipakai kembali. Untuk mengurangi hal semacam ini petani biasanya menambahkan pupuk. Akan tetapi, penggunaan pupuk yang terlalu banyak selain dapat merusak kualitas dari tanaman yang dipanen juga dapat meningkatkan biaya produsi. Peningkatan biaya produksi ini beresiko besar turut menaikan harga pangan pada umumnya yang menyebabkan ketahanan pangan terganggu.

Penanaman tanaman – tanaman pertanian dilakukan dengan cara tumpang sari. Pada daerah di Sumatera masyarakat menanam buah – buahan seperti durian, damar mata kucing, dan karet. Sedangkan di bawah kanopi pohon – pohon tersebut mereka menanam tanaman – tanaman pertanian maupun perkebunan, seperti padi gogo maupun kopi. Sistem tumpang sari ini juga dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Di tengah pohon – pohon agathis dan pinus terdapat pohon kopi yang di tanam oleh warga dengan cara tumpang sari.

Pohon yang umumnya digunakan dalam sistem agroforestri adalah sengon, pinus, sungkai, durian, dan lain sebagainya. Di lain pihak tanaman tahan naungan yang ditanam adalah kunyit, garut, temu kuning, dan masih banyak lagi. Baik itu hasil kayu, non – kayu, maupun pertanian dalam agroforestri dapat dimanfaatkan sebagai penambahan penghasilan bagi masyarakat. Penghasilan ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pangan.

Akan tetapi, sistem agroforestri tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Hal yang paling mendasar yang menjadi kelemahan agroforestri adalah tidak semua tanaman mampu hidup di bawah naungan pohon. Sehingga tidak semua bahan pangan dapat di tanam dengan menggunakan sistem ini. Selain itu, masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai perawatan dan pencegahan pohon terhadap hama. Beberapa diantaranya cendrung menebang pohon yang terkena penyakit dibanding mengusahakan mencari tahu bagaimana cara mengobatinya. Selain itu, hewan besar juga turut menjadi ancaman bagi tanaman pangan yang ditanam dengan sistem agroforestri. Salah satu hewan besar yang kerap kali meresahkan warga adalah babi hutan.

Agroforestri ini juga tidak akan berpengaruh banyak apabila pasar untuk menjual hasil agroforestri mereka tidak ada. Tanpa adanya pemasaran yang tepat sistem ini tidak akan berjalan sesuai yang diharapkan. Kesempatan memasarkan yang sempit tentunya akan menghambat penghasilan dari masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya ketahanan pangan juga tidak akan terwujud.

0 talks: