Hutan, Masyarakat, dan Kita


Apa yang terlintas oleh kalian saat dikeluarkan kata 'kehutanan'? Mungkin sebagian besar akan berpikir tentang hutan, tentang pohon - pohon dan fauna yang menyertainya. Bagi masyarakat biasa bahkan generasi muda mungkin pemahaman tentang kehutanan itu hanya selalu berkaitan dengan alam, climate change, pemanasan global, dan isu - isu lainnya. Sebenarnya kehutanan tidaklah sesederhana yang dipikirkan orang – orang pada umumnya.
Kehutanan dan hutan pada khususnya memegang peranan penting dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hanya saja peran ini terkadang tak disadari oleh masyarakat. Penggunaan furniture dari kayu, kamper, getah, dan lain sebagainya merupakan contoh pemanfaatan hutan dalam segi kayu dan non kayu. Di lain pihak, hutan tak hanya memiliki hasil – hasil hutan konkret seperti di atas. Hutan juga memiliki peran – peran dalam sektor jasa yang sering tak kita sadari, salah satunya adalah berfungsi sebagai penyerap karbon.
Dari sekian banyaknya manfaat yang dihasilkan hutan untuk kehidupan masyarakat, maka perlu lah diadakan usaha pelestarian dan pengelolaan hutan dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi eksploitasi secara berlebihan. Pengelolaan hutan ini juga diharapkan dapat menjaga hutan agar pemanfaatanya dapat dilakukan secara berkesinambungan, sehingga dapat terus dimanfaatkan bagi keturunan kita di masa yang akan datang.
Fungsi kontrol dan kelola ini dipegang oleh pemerintahan, yang dipegang oleh Departemen Kehutanan. Berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 136 tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen, pada pasal 4 menerangkan bahwa Departemen Kehutanan mempunyai tugas membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang kehutanan dan perkebunan. Hal ini kemudian dijabarkan dalam beberapa fungsi pada pasal 5. Bila diringkas Departemen Kehutanan memiliki beberapa fungsi utama, yaitu sebagai pengelola, pembuat kebijakan, pelaksana tugas administrasi, peneliti dan pengembang, pelaksana pelatihan, dan pelaksana pengawasan fungsional. Fungsi ini sudah seharusnya dilaksanakan dengan pertimbangan yang matang demi kepentingan bersama. Akan tetapi, pada kenyataan di lapang masih terjadi berbagai perang kepentingan. Kebijakan yang harusnya dibuat demi kepentingan bersama kerap kali dibuat dengan lebih mengutamakan salah satu pihak saja.
Masih terjadinya penyelewengan kekuasaan ini sering kali menyebebkan konflik – konflik di lapang. Konflik ini menimbulkan dampak dampak sosial, lingkungan, bahkan terkadang hingga mengorbankan nyawa. Salah satu contoh dari belum matangnya pengelolaan lahan hutan adalah dengan terjadinya kasus Mesuji dimana adanya pembantaian manusia. Kasus di Mesuji ini terjadi karena adanya sengketa lahan antara masyarakat dan PT Sumber Wangi Alam. Sengketa ini juga terjadi akibat diberikannya izin perluasan lahan kepada PT Silva Inhutani yang semula hanya memiliki lahan sebesar 33 ribu menjadi 42 ribu hektar. Hal ini menyebabkan terenggutnya hutan adat masyarakat setempat.
Di lain pihak, pernah terjadi pula kasus pembantaian lainnya di Kalimantan. Bedanya pada pembantaian di Kalimantan ini yang menjadi korban adalah orang utan. Pembantaian ini diakibatkan oleh meluasnya lahan perkebunan kelapa sawit sehingga menjamah habitat orang utan. Hal ini akhirnya berimplikasi pada lahan – lahan kelapa sawit mereka. Lahan – lahan kelapa sawit ‘dirusak’ oleh para orang utan, akibatnya orang utan dianggap sebagai hama.
Dari kedua kasus di atas timbul sebuah pertanyaan, bagaimana penataan ruang bagi lahan kehutanan di Indonesia? Pada kasus pertama masih terlihat tak diindahkannya hutan – hutan adat oleh pemerintah. Padahal hutan adat di mesuji telah ada semenjak zaman dahulu, lalu mengapa diberikan izin kepada PT Silva Inhutani untuk melakukan perluasan lahn. Pada kasus kedua terlihat bahwa orang utan tak bisa juga sepenuhnya disalahkan terhadap pengrusakan lahan perkebunan kelapa sawit. Mereka melakukan itu karena habitat mereka telah diganti dengan berhektar – hektar areal kelapa sawit.
Pada kenyataan di lapangan masih banyak yang harus di benahi dalam pengurusan hutan agar dapat dimanfaatkan bagi generasi selanjutnya. Untuk itu kedepannya haruslah dibuat tata ruang yang saklek dan jelas. Tak boleh ada campur tangan yang mementingkan salah satu pihak saja. Tata ruang ini nantinya dipetakan dan dijadikan aturan baku dalam pemberian izin pengelolaan baik itu bagi departemen kehutanan itu sendiri maupun bagi perusahan – perusahan swasta yang ingin turut ambil bagian dalam pemanfaatan hutan. Perlu dipertimbangkan pula bagaimana home range dari fauna setempat apabila suatu kawasan hutan hendak dialih fungsikan. Hal ini dimaksudkan agar tidak timbul kerugian pada kedua belah pihak.
Selain tata ruang yang diperjelas, perlu juga diperhitungkan keberadaan hutan masyarakat di tiap kawasan. Pada dasarnya dengan adanya hutan masyarakat artinya masyarakat turut membantu pelestarian dan penghijauan. Hal ini seharusnya didukung oleh pemerintah bukan justru dihambat atau bahkan digusur. Dalam pengelolaan hutan kedepannya kita sebagai masyarakat, dan juga pemerintah harus menjalin kerja sama dan komunikasi yang sinergis. Dalam membangun hutan bukan hanya kuasa tunggal dari pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat. Dengan adanya hutan masyarakat, diharapkan masyarakat akan turut berperan aktif.
Dalam sebuah diskusi dalam seminar yang diadakan beberapa minggu yang lalu ada seorang peserta yang mengatakan bahwa tak ada dalam sejararah pemerintah berhasil membangun hutan, yang berhasil membangun hutan itu masyarakat, bahkan kalau pun berhasil itu karena pemerintah mengadopsi cara – cara Belanda. Hal ini mungkin patut di renungi dalam pembangunan hutan di masa depan. Dari pendapat tersebut mungkin bisa disimpulkan bahwa sudah saatnya masyarakat diberikan keprcayaan untuk membangun hutan.
Dalam benak saya pribadi, untuk membangun hutan ke depannya masyarakat perlu dilibatkan. Hal ini karena saat ini kebanyakan pemberian izin pemanfaatan justru lebih banyak diberikan kepada perusahan – perusahaan swasta, sedangkan bagian izin untuk masyarakat relatif sedikit bahakan hampir tidak ada. Sering kali ada anggapan masyarakat hanya akan merusak hutan. Padahal kalau ditelaah masyarakat sekitar sebagai pihak yang paling merasakan dampak dan manfaat dari hutan justru adalah pihak yang paling berusaha demi kelestarian hutan. Hal ini dikarenakan merekalah yang paling paham kerugian yang diakibatkan apabila hutan di sekeliling mereka di rusak. Mungkin hanya sebagian kecil saja yang memang iseng merusak hutan, tapi selebihnya masyarakat juga telah memiliki kesadaran tentang fungsi hutan bagi mereka.
Sudah waktunya pemerintah memercayai masyarakat. Tak selamanya masyarakat berorientasi untuk merusak. Di masa mendatang diharapkan masyarakat pinggiran hutan haruslah menjadi pihak pertama yang paling merasakan dampak hutan. Bukannya jadi pihak - pihak yang melarat yang tak memiliki sumber penghasilan. Pemerintah haruslah menjadi pelindung masyarakat ini dalam melakukan fungsi pengelolaan menurut gaya mereka sendiri karena pengelolaan hutan itu tidak saklek. Diharapkan di masa mendatang pemerintah lebih berperan sebagai pembuat kebijakan, penyedia dana, dan penyedia data. Di lain pihak, masyarakat lah sebagai roda penggeraknya.
Dalam sebuah film dokumenter bahkan masyarakat mengeluhkan mengenai kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat menjadi pihak yang paling sedikit merasakan manfaat hutan. Padahal mereka berada di pinggiran hutan tersebut. Pengelolaan justru malah dipercayakan kepada pihak swasta. Kalau mereka masuk hutan dan sekedar ingin menikmati kayu tua yang tumbang mereka dianggap telah melakukan pengrusakan, padahal chainsaw mereka telah habis disita oleh pemerintah.
Jadi, berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan diatas ada beberapa poin yang saya tekankan dan saya harapkan dalam pengelolaan hutan di masa depan. Hal yang pertama adalah perancanaan penggunaan lahan hutan dengan matang. Pengalihfungsian hutan perlu dipikirkan secara seksama dari berbagai sudut pandang, bahkan dari sudut pandang hewan sekalipun. Hal yang kedua adalah pendataan hutan masyarakat. Ini dimaksudkan agar kasus sengketa lahan yang hampir selalu dipastikan merugikan pihak yang terkait masalah tidak terulang. Hal yang ketiga adalah turut dilibatkannya masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan diharapkan tak hanya dipercayakan kepada pihak swasta tetapi juga masyarakat di daerah pinggiran hutan pada khusunya. Dalam kasus ini diharapkan pemerintah hanya berperan sebagai konsultator dan tidak campur tangan secara intensif.
Dalam pengelolaan hutan tak ada kata saya, tetapi kami. Hal ini dikarenakan bukan hanya satu pihak yang membutuhkan hutan, tetapi semua individu yang hidup di dunia ini, utamanya adalah masyarakat pinggir hutan. Oleh karena itu, pinggirkan ego dan dengarkan karena kita tak hidup sendiri.

Ini cuma pikiran iseng doang loh dari seorang pemula namanya juga pemula. Jadi maaf - maaf aja ya kalau ada kekeliruan namanya juga yahh masih belajar hehe :)

0 talks: