Belakangan ini kita memang digegerkan dengan peristiwa kebakaran hutan. Mungkin bagi kita yang tidak tinggal di Sumatera atau bahkan tidak memiliki relasi di sana bisa jadi tidak peduli. Tapi tahukah kalian bahwa di negara yang sama dengan kita banyak orang yang dipaksa terkungkung dalam kepulan kabut asap. Bahkan seorang teman yang bekerja di sana pun mengeluhkan bahwa hampir setiap hari ia harus pergi untuk memadamkan api yang melalap hutan kita di Sumatera. Ia bukanlah seorang pemadam kebakaran, ia juga bukan pegawai pemerintah, terlebih dia juga bukan polisi hutan. Ia hanya karyawan biasa yang memang bekerja di salah satu perusahaan kehutanan swasta di sana.
kebakaran hutan (credit: @farikhmunirm) |
Ini bukan masalah salah siapa. Tapi bagaimana kita mengatasi nya. Ada yang bilang ini dampak el nino. Tapi kita semua tahu ada tidak ada api kalau tidak disulut. Pelajaran di bangku kuliah selalu mengatakan bahwa mengingat iklim di Indonesia yang berada di kisaran A-C dan D di beberapa tempat (menurut Schmidt Ferguson) membuat hutan di Indonesia tidak akan langsung dilalap api saat kemarau. Bahkan puntung rokok pun dikatakan tidak dapat menyulut api. Yah ini pun sebenarnya saya tahu hanya sebatas mata kuliah saja. Tapi mungkin memang benar, ada pihak tak bertanggung jawab yang menyulut api. Siapa? Kita tidak tahu sampai saat ini. El nino tidak menyebabkan kebakaran, hanya memperparah kebakaran yang ada. Toh, pada dasarnya hampir setiap tahun kebakaran hutan memang selalu terjadi. Lokasinya sama, hampir selalu di Sumatera dan Kalimantan. Dua pulau besar kita yang masih memiliki hutan gambut itu.
Keberadaan hutan gambut memang sebuah lahan basah. Tanahnya yang tua mengandung banyak mineral. Pohon pohon tua yang kadang tak bisa ditemukan di belahan bumi manapun, ditemukan di sana dengan diameter yang spektakuler. Gambut merupakan anugerah kekayaan alam bagi negara kita. Sesuatu yang khas yang membedakan hutan di negara kita dan mereka. Tapi ya, perlahan-lahan itu mulai lenyap. Siapa? Kadang kita bertanya siapa yang membakar, kenapa mereka membakar gambut tersebut. Mereka tentunya tahu bahwa api-api itu akan menjalar dengan cepat. Merambati dari suatu pohon ke pohon lainnya. Menjalar di bawah tanah melalap serasah di lantai hutan. Tak tersentuh di permukaan, tapi ada kepulan asap daripada nya. Masyarakat lokalkah? Yang katanya membuka lahan dengan membakar hutan. Pihak pihak berkepentingankah? Yang katanya membakar hutan agar lahan nya bisa dibajak dan dialihkan menjadi penggunaan lain, sawit misalnya.
Sementara banyak masayarakat Indonesia tak peduli, karena menurutnya bukan urusannya, negara lain mencak mencak. Pasalnya kabut asap 'kiriman' sampai di negara mereka. Kabut asap ini bahkan sampai pada titik 'tidak sehat'.
The haziness is due to haze being blown in from Sumatra by the prevailing winds. As at 8pm today the 24-hr PSI was 93-106, in the high end of the Moderate range and low end of the Unhealthy range, and the 1-hr PM2.5 was 44-56 µg/m3. (nea.gov.sg)
Sampai di sini. Mungkin ada yang harus dipertanyakan kembali. Sudah bertahun-tahun kita tetap mengalami hal yang sama kebakaran gambut, kebakaran hutan. Dan lagi-lagi kita selalu dituding sebagai pengirim polusi udara. Ada apa? Perebutan lahan memang tak ada habisnya, sama seperti ego yang tak ada habisnya. Mau sampai kapan? Sampai gambut kita habis. Lalu jika sudah habis apa yang tersisa?
kabut asap (credit: @farikhmunirm) |
0 talks:
Post a Comment