Mengeja Kebakaran Hutan dan Lahan di 2018

Memasuki musim kemarau kali ini sepertinya panas akan kembali melanda. Bukan ini bukan soal pilpres 2019 yang isunya kembali menghangat, tapi soal antisipasi untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Meski memang jika dilihat dari track recordnya kebakaran tahun 2018 ini belum separah kebakaran hutan di tahun 2015, tetapi tetap saja antisipasi upaya pemadaman harus tetap diperhatikan. Berdasarkan data di websites Global Forest Watch yang diakses pada 12 Agustus 2018, jumlah hotspot yang terpantau untuk periode pengamatan 4 Agustus 2018 - 11 Agustus 2018 tercatat sebesar 8.934 titik hotpot, dengan titik hotspot terpantau paling banyak terpantau pada Kalimantan Barat (kenapa ya? hmm). Meski titik hotspot ini tidak menunjukkan bahwa telah terjadi kebakaran pada lokasi tersebut, peringatan ini perlu diawasi agar kemungkinan kebakaran tidak terjadi. Tentunya kita tidak menginginkan peristiwa tahun 2015 kembali terulang bukan?

(Sumber: Global Forest Watch, diakses pada 12 Agustus 2018)

Melihat titik ini pemerintah seharusnya mulai waspada. Apalagi dengan adanya komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi hingga tahun 2030 mendatang sebesar 29%. Ya, sektor kehutanan dan gambut memang masuk ke dalam pemantauan dalam rangka penurunan emisi. Berdasarkan IPCC 2006 terdapat 4 sektor yang harus dilaporkan dalam komitmen penurunan emisi, yaitu sektor energi, industri (IPPU), AFOLU (agriculture, forestry, and other land use), dan limbah. Sejak 2015 silam pemerintah Indonesia memang mengubah target penurunan emisi untuk semua sektor dari 26% hinga 2020 menjadi 29% hingga 2030 terhadap BAU (Bussiness As Usual). Dengan bantuan Internasional, ditargetkan emisi dapat turun hingga 41% pada 2030.

Target ini kemudian dipecah kembali berdasarkan sektornya, sesuai sektor yang ada pada IPCC 2006. Untuk sektor kehutanan target penurunannya adalah 17,2%, untuk sektor pertanian 0.32%, sektor energi 11%, sektor industri 0,1%, dan sektor limbah 0.38% (sumber: Bisnis Indonesia). Dari target tersebut jelas terlihat bahwa pemerintah memiliki harapan dan target yang cukup besar untuk penurunan emisi pada sektor kehutanan.

Tingginya target penurunan emisi untuk sektor kehutanan ini bisa dibilang cukup wajar, mengingat sektor kehutanan termasuk pemasok emisi yang cukup besar terutama emisi yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, pada tahun 2015 mengalami kenaikan emisi yang berasal dari sektor kehutanan mengalami kenaikan sekitar 22.4% dari tahun 2014. Sebelumnya emisi pada tahun 2014 untuk sektor kehutanan yakni sekitar 979.4, sementara pada 2015 yakni sekitar 1545 (sumber: Ditjen PPI).
(Sumber: Ditjen PPI)
Apabila grafik di atas disandingkan dengan banyaknya titik hotspot yang terpantau pada Global Forest Watch, maka kita dapat melihat bahwa adanya tren kenaikan yang sama antara emisi yang disumbangkan dengan banyaknya titik hotspot. Walaupun tentunya statement ini masih harus dicari korelasinya (misalnya emisi terhadap kebakaran hutan dan lahan bukan hanya terhadap hotspot nya saja), tapi secara visual dari grafik kurang lebih trennya sama. Misalnya, nilai emisi cenderung turun pada tahun 2013 dibandingkan pada tahun 2012, dan cenderung naik dari 2013 - 2015. Hal ini sama dengan banyaknya pantauan titik hotspot yang terekam oleh Global Forest Watch. Laporan ketiga National Communication Indonesia (2017) menyebutkan bahwa emisi yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut pada tahun 2014 menyebabkan tingginya inventory GRK melebihi baseline emisi pada NDC.
(sumber: Global Forest Watch diakses 12 Agustus 2018)

Berdasarkan laporan ketiga National Communication Indonesia, disebutkan bahwa pada 2016 resiko kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan diperkirakan mencapai USD 2.5 Miliar. Dampaknya yang besar baik terhadap penurunan emisi, dan ekonomi, membuat isu kebakaran hutan dan lahan ini menjadi seksi. Bahkan pada laporan yang sama disebutkan bahwa target mitigasi untuk kebakaran hutan dan lahan mencapai 21,770 Gg CO2e

Upaya yang dilakukan pemerintah tentunya sudah ada. Salah satunya dengan memoratorium perizinan di lahan gambut. Sejak tahun 2017 pemerintah bahkan membuat regulasi yang bahkan sempat menyebabkan ketegangan antara dua kementerian yakni Kementerian Perindustrian dan KLHK. Regulasi P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang pembangunan HTI. Perubahan besar besaran klasifikasi di lahan gambut menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung yang ebrdasarkan KHG ini menyebabkan banyak perusahaan HTI yang terdampak. Tapi kemudian pertanyaannya efektifkah regulasi tersebut dalam menekan kebakaran hutan khususnya di kawasan gambut?

Mungkin yang harus menjadi perhatian selanjutnya adalah data yang sama dari Forest Global Watch yang menyebutkan bahwa titik hotspot yang terpantau hanya 11% di kawasan gambut. Selain itu, dari total titik hotspot 64% berada di luar konsesi, 23% di kebun Sawit, 10% di konsesi bubur kertas, dan 4% di konsesi logging. Jadi dari data-data di atas kemungkinan terjadinya titik hotspot tidak melulu ada di kawasan gambut walaupun mungkin memang harus ditambahkan referensi perbandingan besaran penyumbang emisi kebakaran hutan dari kawasan gambut dan non gambut. Tapi, sama saja pada dasarnya kebakaran hutan dan lahan, ataupun pemantauan titik hotspot tetap harus dikurangi di kawasan apapun itu.

Untuk sanksi sendiri bagi pemegang konsesi yang lokasinya ada di gambut sudah ada pemantauan PROPER terkait dengan TMAT gambut, yang kategori nilainya akan berubah jadi hitam jika terjadi kebakaran pada kompartemen yang dimaksud. Tentunya akan ada sanksi untuk ini. Selain itu, tampaknya pemerintah melalui KLHK juga menerapkan deskresinya untuk pengenaan sanksi bagi para pemegang konsesi yang di wilayahnya terjadi kebakaran. Dikutip dari KBR (2015) Menteri KLHK Siti Nurbaya akan mengenakan sanksi administratif untuk area yang terbakar kurang dari 100 Ha. Sanksi ini berupa teguran tertulis, rehabilitasi lahan yang terbakar, serta area yang terbakar tersebut akan diambil negara untuk restorasi, ditambah permintaan maaf dari perusahaan. Sanksi kedua adalah sanksi moderat jika luas yan terbakar 100 - 500 Ha. Untuk sanksi ini akan ditambah dengan sanski pembekuan izin selama 6 bulan. Untuk sanksi berat akan dikenakan pencabutan izin. 

Meski pemerintah sudah secara tegas menyatakan sikapnya dalam melawan kebakaran hutan dan lahan, mungkin selanjutnya perlu dipikirkan jalan untuk meredam kebakaran hutan dan lahan yang tidak dimiliki oleh pemegang konsesi, di kawasan hutan yang masih diawasi negara misalnya. Dalam beberapa kasus tentunya penguatan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) sebagai pengelola tingkat tapak perlu ditingkatkan kembali. KPH sebagai pengelola tingkat tapak tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator pemanfaatan hutan tentunya. Namun, sering kali terbatasnya anggaran menyebabkan sulitnya patroli dan pengembangan IPTEK di lokasi KPH dalam rangka memitigasi kebakaran hutan dan lahan. Jangan sampai dari sisi pencegahan, teknologi, dan pengawasan KPH sebagai pemangku hutan yang diutus pemerintah tertinggal jauh dari para pemilik konsesi yang secara hitung-hitungan harusnya pemilik konsesi memiliki modal dan kapasitas serta kompetensi dalam melakukan pencegahan hutan, itu pun jika mereka mau.

------
*) tulisan amatir di kala senggang, mungkin akan diupdate jika ada tambahan pengetahuan. Haha.

0 talks: