Hydrology  is one of the most important ecosystem to support humans life. Basically hydrology is a science that learned about all the water in the world. For forest management major we specialized to studied about how forest could influenced the basin. Basin is an ecosystem that was delineated by the topography. It has a function to catch, to flow, and to infiltrate the water from a upstream to an outlet. Nowdays many issues about global warming and climate change were talking about how forest land use could influenced the basin. It said that many catastrophe such as flood was caused by the land use change. And in other case a clean water scarcity becoming an important issues. Urban continuously growing and donate waste to the water channel, decreasing the quality of water. In the other hands the settlement continue to develop without concerning about to infiltrate water to the ground. This causing the drought in dry season and flood in wet season. So the question is how to developed a sustainable watershed management?

It's generally spoken that forest is important to maintain the sustainability of the environment. These becoming an important issues since human life depends on environment resources. Unfortunately, the world development sometimes doesn't consider about the true nature of the environment it self. Hydrology or basin is an environment that interact with the living creature. This what we called an  ecosystem. As a system, basin will react to the input that happened in it and will give the output based on the input that they given. A natural system will give the balance respond within the input and output, but without considering it humans have been changing the input of the system. They exploit the nature resources on watershed (like land use changing from forest to mine) without paying attention with the nature balance.

As we spoken before basin has some different respond depends on its input. In this part we will talked about the land use change impact to the basin. Input of basin (land use) could be explained by knowing the component of water balanced. As we know, rainfall is different in each places it depends on sun position to the places. Rainfall or climate factors is a factor that hard to be changed and needs a long term condition to change. A rainfall quantity could influenced how the basin works. Another input that could influenced the basin system is soil. Soil have many different characteristic in response to infiltrate the water. In soil we know about permanent wilting point. Permanent wilting point is a capacity of water to infiltrate the water. If the rainfall quantity is exceed the permanent wilting point water will becoming a surface run-off. A big quantity of run off will eroding the top soil this will caused a soil quality damage. Beside that the run off that bring the soil will enter the nearest water channel and will caused the sediment quantity increasing. Of course the sediment will lead to water channel changing and beside that in the maximum rainfall intensity it will caused flood. Sediment was actually a nature phenomenon but because of the extreme changing on the basin and the basin can't handle it so the decreasing sediment will make catastrophe to the basin it self. This is one of the basin response to the land use change.

Other thing that caused a hydrological respond to the basin is slope. In Indonesia the upstream usually becoming a national park and the existence of the national park becoming so important to maintain the availability of clean water. National park usually has a dense contour it means that the area is having a steep slope. Beside that national park that locate in the mountain is having an old soil. The dense contour and the old soil making the area easily to  be eroded. In this area that haven't any vegetation cover will lead to the slide. In some cases the slide will closed the water channel and will dam up the water. This dam up won't hold longer and it will caused flash flood. From this explanation we know that slope, land use, and soil are the main factor to analysis the basin, beside the weather. An overlay of them is what we called HRU or Hydrological Response Unit.

To developed a well watershed management we should concern about HRU. HRU is an unique respond of hydrology based on its land use, soil, and slope. The overlay of this tree becoming so important to be considered of. This because every basin has a different HRU. And land use, soil, and slope will make a lot of combination that will categorized in different HRU. Using HRU as a standard for watershed management or to set the protected forest is better than using a scoring. Because by using HRU means we consider about the variant of the soil, slope, and land use combination. This becoming so important to maintain the natural balanced. Indonesia set the protected forest just by looking the score that we don't know where the score standard come from. This won't be effective because Indonesia as a tropical country has a many diversity of its own nature. This should be considered to developed a well watershed management.

So in the end, the thing that should be considered .to developed a well watershed management  is to know what is the main factor to analyzed the basin, such as soil, land use, and slope. It's because every different combination of them will lead to a different hydrological response. This respond will react to the basin itself. So it's important to us to knowing better about each HRU of the watershed so that we can set up the best management that should be chosen to managing the watershed.
Banyak orang masih salah presepsi mengenai ketahanan pangan. Ketahanan pangan kerap kali dianggap mengandung arti hanya dalam aspek produksi. Aspek produksi yang dimaksud di sini adalah kemampuan masyarakat dalam penyediaan pangan. Padahal ketahanan pangan mencakup aspek produksi, distribusi, dan akses. Proses distribusi ini sendiri adalah bagaimana kebutuhan pangan didistribusikan merata ke seluruh elemen masyarakat. Aspek akses adalah kemampuan masyarakat untuk membeli atau mengakses kebutuhan pangan mereka sendiri.

Apabila dilihat dari aspek produksi konversi lahan menjadi areal pertanian merupakan salah satu cara guna meningkatkan ketahanan pangan. Lahan yang semakin langka membuat konversi lahan ini nyaris tidak mungkin. Salah satu cara agar lahan pertanian tersedia adalah dengan membuaka wilayah hutan sebagai areal pertanian. Akan tetapi, wilayah hutan yang semakin kritis membuat konversi lahan tidak memungkinkan dan pasti akan menimbulkan pertentangan dari para penggiat lingkungan.

Untuk menghindari hal yang demikian mempertahankan ketahanan pangan dengan cara agroforestri dapat menjadi salah stau jalan keluarnya. Agroforestri merupakan salah satu bentuk sistem pertanian tempat hutan dan pertanian bertemu, tempat struktur hutan dan logika pertanian bersimpangan (ICRAF). Agroforestri merupakan cara meningkatkan ketahanan pangan tanpa merusak ekosistem.
Pola agroforestri diperlukan karena bisa menjamin produktivitas lahan dalam jangka panjang, dengan cara misalnya melakukan penjarangan dan pemangkasan tanaman pokok dan pemilihan jenis – jenis tanaman tahan naungan yang sesuai dengan agroekosistem setempat dan mempunyai nilai ekonomi bagi petani (Djaingastro et al. 1993)
Pada pertanian biasa kita sering kali dihadapkan pada pembukaan lahan besar – besaran untuk dijadikan areal pertanian maupun perkebunan. Hal ini diataranya menyebabkan rusaknya ekosistem hutan. Ambil contoh peristiwa di Kalimantan beberapa bulan yang lalu. Pembukaan areal hutan menjadi wilayah perkebunan kelapa sawit menyebabkan orang utan kehilangan habitat aslinya dan akhirnya terpaksa hidup dengan memakan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan pengelola perkebunan menganggap orang utan sebagai hama dan kemudian membantai mereka. Padahal orang utan itu sendiri sudah tidak memiliki habitatnya lagi akibat pengkonversian habitatnya menjadi kebun kelapa sawit.

Sistem agroforestri ini juga dapat tetap menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat yang hidup di dalam hutan yang saat ini kian tergusur. Selama ini kebijakan kerap kali dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat. Masyarakat adat dianggap hanya sebagai penghambat modernisasi (Gunawan et al. 1998). Selain masyarakat adat, masyarakat pinggir hutan juga menjadi lebih dapat mengambil manfaat dari hutan untuk menjamin kemampuan mereka untuk mengakses kebutuhan pangan. Misalnya pada suatu kecamatan di Ciapus, masyarakat diberikan kesempatan oleh perhutani untuk menanam popohan. Hasil dari penjualan ini mereka gunakan untuk membeli kebutuhan pangan.

Dapat meminimalisir resiko gagal panen dan juga penghasilan yang di dapatkan akan lebih besar. Hal ini dikarenakan tanaman yang ditanaman berbagai macam. Pertanian pada umumnya melakukan prinsip monokultur, apabila sedang mewabah hama atau penyakit tertentu tanaman tersebut lebih rentan terserang penyakit dan terancam gagal panen.

Agroforestri juga dapat berperan sebagai konservasi tanah. Pada pertanian penghanyutan dan pencucian zat hara yang hilang diperbesar (Sarwono, 2010). Disamping itu tanaman yang dipanen juga turut ambil andil dalam hilangnya unsur hara dari dalam tanah. Oleh karena itu, tanah bekas hutan yang digunakan intensif sebagai lahan pertanian akhirnya tidak dapat dipakai kembali. Untuk mengurangi hal semacam ini petani biasanya menambahkan pupuk. Akan tetapi, penggunaan pupuk yang terlalu banyak selain dapat merusak kualitas dari tanaman yang dipanen juga dapat meningkatkan biaya produsi. Peningkatan biaya produksi ini beresiko besar turut menaikan harga pangan pada umumnya yang menyebabkan ketahanan pangan terganggu.

Penanaman tanaman – tanaman pertanian dilakukan dengan cara tumpang sari. Pada daerah di Sumatera masyarakat menanam buah – buahan seperti durian, damar mata kucing, dan karet. Sedangkan di bawah kanopi pohon – pohon tersebut mereka menanam tanaman – tanaman pertanian maupun perkebunan, seperti padi gogo maupun kopi. Sistem tumpang sari ini juga dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Di tengah pohon – pohon agathis dan pinus terdapat pohon kopi yang di tanam oleh warga dengan cara tumpang sari.

Pohon yang umumnya digunakan dalam sistem agroforestri adalah sengon, pinus, sungkai, durian, dan lain sebagainya. Di lain pihak tanaman tahan naungan yang ditanam adalah kunyit, garut, temu kuning, dan masih banyak lagi. Baik itu hasil kayu, non – kayu, maupun pertanian dalam agroforestri dapat dimanfaatkan sebagai penambahan penghasilan bagi masyarakat. Penghasilan ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pangan.

Akan tetapi, sistem agroforestri tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Hal yang paling mendasar yang menjadi kelemahan agroforestri adalah tidak semua tanaman mampu hidup di bawah naungan pohon. Sehingga tidak semua bahan pangan dapat di tanam dengan menggunakan sistem ini. Selain itu, masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai perawatan dan pencegahan pohon terhadap hama. Beberapa diantaranya cendrung menebang pohon yang terkena penyakit dibanding mengusahakan mencari tahu bagaimana cara mengobatinya. Selain itu, hewan besar juga turut menjadi ancaman bagi tanaman pangan yang ditanam dengan sistem agroforestri. Salah satu hewan besar yang kerap kali meresahkan warga adalah babi hutan.

Agroforestri ini juga tidak akan berpengaruh banyak apabila pasar untuk menjual hasil agroforestri mereka tidak ada. Tanpa adanya pemasaran yang tepat sistem ini tidak akan berjalan sesuai yang diharapkan. Kesempatan memasarkan yang sempit tentunya akan menghambat penghasilan dari masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya ketahanan pangan juga tidak akan terwujud.