"Hutan bukan Tuhan yang serba bisa" Pak aang.
Itu kalimat pembuka kuliah hidrologi yang masih bisa gw inget sampe saat ini. Dengan membangun hutan, tidak lantas dapat memperbaiki seluruh strata kehidupan masyarakat Indonesia. Ada beberapa pemikiran yang memang harus diperbaiki di sini, saat ini. Manusia memang telah tersadarkan untuk beraktivitas lebih ramah lingkungan lagi, tapi ada satu yang menurut gw pribadi harus agak dikoreksi. Pertanyaan gw dari dulu adalah, apa dengan mereboisasi hutan, melakukan penanaman, merubuhkan bangunan- bangunan itu kemudian menanam pohon adalah jawaban atas segala musibah, bencana, global warming, atau apapun itu lah? Well, mungkin beberapa memang fakta. Benar hutan dapat memeprbaiki itu, tapi fakta lainnya mungkin tidak sepenuhnya benar. Ketergantungan manusia dengan segala aktivitas modern saat ini tidak memungkinkan kita untuk kembali ke gaya hidup 'kuno'. Gw pribadi juga pasti bakal kesulitan kalo gak ada angkot, hp, atau apapun itu yang menggunakan energi fosil. Munafik, kalo gw bilang 'kita harus hidup hijau lalalala~' sementara gw sendiri masih bergantung pada media - media tersebut.
Jawaban yang gw dapet untuk sementara ini masih tetap, bagaimana mempertahankan alam yang masih ada dan memperbaiki tatanan lain yang telah terbangun. Hidup hijau dan ramah lingkungan gak harus kok ngerubuhin rumah, terus dijadiin areal hutan. Memangnya kalian mau tinggal dimana kalau semua perumahan dirubuhin. Alokasi itu gak gampang loh. Lagipula, alokasi juga berarti ngebuka areal baru kan? Sama aja dong jatuhnya.
Memperbaiki yang gw maksud adalah perbaikan pola pikir masyarakat. Sudah saatnya kita berpikir bagaimana mengelola, bukannya membangun. Sudah banyak yang kita bangun, tapi kita lupa untuk mengelolanya sehingga terlupakan dan 'waste'. Lahan pemukiman makin kritis, mendorong para kontraktor dan para pengusaha perumahan membeli areal pertanian. Lahan pertanian makin kritis akhirnya mendorong pembukaan areal hutan. Lalu lahan hutan makin kritis, darimana hutan mendapatkan lahan nya?
Ada yang bilang, "kalau gak mijak tanah gak berasa punya rumah". Inilah kenapa apartemen sepi peminat dan perumahan merajalela. Kesalahan pola pikir aja. Kenapa ngerasa gak punya rumah? apa sih esensi dari rumah sebenarnya? Toh, yang penting esendi itu tercapai bukan?
Orang desa pergi ke kota. Merasa miskin dengan segala yang mereka punya. Pergi ke kota bingung mau apa dan jadi pembantu. Itu juga aneh. Di desa, bahkan 'bibi' gw bilang kalau mau nyayur tinggal ambil. Tanaman hias yang mahalnya gak kira - kira di kota, tinggal metik aja. Harusnya mereka bisa hidup lebih mewah dari kita.
Apa sih prinsip teknologi? Bukankah dalam ekonomi itu peningkatan output bergantung pada sumberdaya? Baik itu SDA maupun SDM. Di desa SDA ada, SDM pasti ada pula. Hal yang kurang dari desa adalah minimnya pengetahuan. Bagaimana memanfaatkan SDA yang ada dengan optimal itu adalah permasalahan yang dihadapi di desa. Mereka gak kenal bio retensi, menggunakan satelit, panel surya, mereka mungkin tau, tapi bagaimana mengembangkannya mereka mungkin gak tau. Mereka mungkin gak sadar bahwa mereka dapat menjadi lebih kaya dibandingkan masyarakat kota. Mereka mungkin gak sadar, petani mungkin gak sadar bahwa semua kehidupan manusia bergantung kepada beras - beras yang mereka hasilkan. Para peternak dan nelayan mungkin minder dengan rumah - rumah mungil mereka dibandingkan dengan rumah super megah masyarakat kota, tapi mereka gak pernah tau kalau para orang kaya itu butuh daging - daging dari ternak mereka. Tanpa makanan manusia nothing.
Prinsip energi itu apa sih? Prinsip energi itu kan air ditambah cahaya matahari sehingga menghasilkan oksigen dan karbohidrat bukan? Indonesia jelas punya kelimpahan cahaya matahari. Air? Jelas punya, kita kan negara kepulauan. Ganjil rasanya kalau kita miskin. Hanya saja, sama seperti masak, bahan sudah ada sekarang tinggal bagaimana kita mengolahnya. Apa yang perlu diolah? Berhubung matahari adalah anugrah dari Tuhan. Ya berarti olah airnya. Hidrologi bahasa kerennya. Bukan cuma sekedar bagaimana mengalirkan air dari hulu ke hilir supaya gak banjir, tapi juga bagaimana menahan air tersebut di dalam tanah.
Banjir yang terjadi banyak terjadi karena debit air yang terlampau tinggi. Pikiran umum dari pembuat kebijakan adalah bagaimana mengalirkan air ini secara cepat ke laut agar tidak terjadi banjir. Dibentuklah kanal - kanal. Aniwei, pernah gak mikir, kalau semua air dibuang ke laut, terus pas kemarau kita dapet air darimana? Mengalirkan air ke laut dengan cepat memang solusi yang baik menghadapi banjir, tapi jangan sampai lupa untuk menahan sebagian untuk musim kemarau. Bagaimana meningkatkan kapasitas infiltrasi adalah hal yang patut dipikirkan juga. Pembuatan bendungan, atau teknik pengontrolan air adalah hal yang perlu diperhitungkan dengan baik.
Air, bukanlah benda mati yang murah menurut gw. Kalau memang murah kenapa ada slogan "hematlah air". Kita, Indonesia gak pernah kekurangan apa - apa, sebenarnya. Mengelola air salah satu kunci untuk membangun negara kita ini. Bagaimana menahan air di darat tanpa menciptakan banjir adalah hal yang harus kita pikirkan. Pohon seperti yang kita ketahui adalah penangkap air yang cukup baik. Air yang terkandung dalam pohon atau biomassa ini dinamakan green water. Ada juga blue water, yaitu air yang memang berebntuk nyata kayak sungai, danau, laut, dll. Mengolah green water dan blue water ini adalah tantangan kita generasi muda. Mengubah mindset adalah hal yang sulit, tapi bukan berarti gak mungkin.
Kenapa gw bilang desa bisa dibangun adalah karena di desa yang air masih ada, lingkungan masih bersih sebenarnya kesejahtraan bisa diciptakan. Air bisa diolah untuk irigasi, pengadaan listrik, penggunaan sehari - hari. Bahkan dari indikator - indikator kecil yang dihasilkan irigasi dapat dipakai untuk pertanian, limbah pertanian bisa dipakai untuk perternakan, peternakan bisa diekspor, dan masih banyak mata rantai yang terkait dari air.
Air itu bukan musibah. Yang jadi musibah adalah ketika kita gak mampu mengelolanya. Seharusnya saat kita mulai membuka lahan hutan pada daerah hilir dan daerah tepian sungai, maka saat itulah kita menyadari apa konsekuensi dar tindakan yang kita lakukan. Gak masalah bukan lahan, toh itu juga untuk keprluan kita bersama. Hanya saja konsekuensi - konsekuensi yang akan terjadi di masa depan, yang akan terjadi bagi anak cucuk kita sudah sewajarnya diantisipasi. Pembuatan kanal, bendungan, resapan biopori, taman kota, menurut gw adalah hal - hal yang sebaiknya perlu dikaji lagi. Pengetahuan masyarakat di daerah hulu juga perlu ditingkatkan. Tidak banyak masyarakat yang bahkan tau bahwa daerahnya sebenarnya juga merupakan daerah hulu (termasuk gw). Dan jujur gw gak sadar kala daerah gw adalah hulu sungai. Hal ini utamanya pada musim - musin hujan, akan lebih bijak bagi daerah - daerah hulu dan pengairannya untuk membuat atau mengusahakan sutu cara agar air di daerah mereka dapat ditahan di daerah itu. Agar bagian hilir tidak apes kena banjir. Pertanyaan gw adalah bagaimna caranya? Ini juga yang masih gw pikirin.
Yah sementara gw mengkaji lagi, gw juga pengen semua yang baca blog ini setidaknya mikir juga. Kita pikirin bareng - bareng. Karena toh hidup itu berkesinambungan. Jangan pernah berpikir bahwa musim hujan adalah bencana. Karena seperti yang pak nana bilang "Hujan itu bukan musibah, justru hujan menghidupi kehidupan".
Regarts, :D