Aoraki Mount Cook National Park (source: personal documentation) |
Rere, rere, ripo ana, e!
Te wai tuku kiri
Te wai tipua
Te kare maioha e rere nei
Ko koe te wai oraka mo to iwi
Rere, rere, ripo ana e! (ano)
Rippling, flowing, swirling around
Your waters lap upon shores of ancestral land
The waters, challenging waters!
Beckoning voices, whistle, whisper, ripple over ripple
You are the life source for your people
[Waihora!] Rippling, flowing, swirling around
-- Lincoln University Waiata: Te Wai tuku kiri
Apa yang membuat New Zealand menarik untuk destinasi sekolah?
Mungkin banyak yang bertanya seperti itu. Apalagi negara dengan logo daun pakis ini gak sepopuler tetangganya, Australia. Mungkin sudah berulang kali kerap masuk chat yang isinya "gimana di australi?", dan setiap kali pula saya harus jelaskan kalau saya di New Zealand (hahahaha). Jadi kenapa sih harus New Zealand?
The Beginning
New Zealand, negara kecil di selatan globe ini memang kurang seterkenal sebagai tujuan studi untuk bidang lingkungan, gak seperti negara Eropa atau Asia Timur. Saya sendiri pun tidak tahu soal negara ini sampai suatu waktu pas daftar beasiswa Australia Award Scholarship, saya melihat pembukaan beasiswa New Zealand Scholarship atau Manaaki NZ Scholarship. Saya inget dulu ada kaka kelas yang pernah dapet beasiswa ini. Dari situlah saya mulai cari tahu soal New Zealand. Dari semua hal yang paling menarik perhatian saya itu adalah hutan tanaman di New Zealand. Walaupun luas negaranya gak sebesar Indonesia, tapi sektor kehutanan bisa menjadi penyumbang ketiga GDP. Selain itu, New Zealand juga termasuk negara yang sudah mengimplementasikan jual beli karbon untuk pasar domestik. Padahal saat itu (bahkan sampai saat ini) Indonesia masih berupaya menggodok sistem jual beli karbon. Lainnya, salah satu penasihat KLHK bidang perubahan iklim ada yang bersekolah di NZ, jadi apa salahnya kan belajar di negara burung Kiwi ini tentang perubahan iklim.
Dari sekian banyak jurusan akhirnya pilhan saya jatuh ke Master of Planning, Lincoln Univeristy. Walaupun saya juga consider untuk milih University of Auckland Master of Environmental Science, tapi entah kenapa master of planning buat saya pribadi lebih sesuai dengan yang saya mau. Berhubung saya tertarik dengan isu kesesuaian lahan, dan spatial planning, saya pikir kayanya lebih baik banting setir ke Master of Planning daripada ke isu lingkungan. Pas buka course, saya bingung kenapa kuliahnya sedikit ngobrolin Urban Planning, malah lebih banyak bahas soal lingkungan, water management. Jadi pas awal berangkat ditanya master of planning kenapa belajarnya kayak jurusan master lingkungan, saya bingung juga, karena belum tau. Faktor lainnya milih Master of Planning karena ngincer membership nya New Zealand Planning Institute (NZPI), padahal gak tau juga di Indonesia bisa kepake apa gak hahahaha.
The Reality
Bisa dibilang masuk ke jurusan ini tanpa ekspektasi apa-apa. Yang jelas suka sama pilihan coursenya, selesai. Tapi ternyata yang didapetin di luar ekspektasi sih. Buat orang lingkungan, kehutanan, atau planner yang pengen belajar planning dari perspektif lingkungan di sini tempatnya. Loh kenapa?
Mungkin karena di sini semua kegiatan itu dimanage sama yang namanya planner. Setiap council (pemerintah daerah) punya posisi yang namanya planner, nah mereka yang sehari-hari berurusan sama perizinan. Mungkin mirip sama PTSP. Di sini yang namanya planner dihargai betul-betul. Planner juga gak bsa sembarangan orang, mereka harus yang punya kompetisi sebagai planner yang bisa dibuktikan dengan pendidikan, atau pengalaman. Nah, semua mahasiswa planning secara otomatis berhak didaftarkan sebagai member. Kenapa harus ketat? Karena planner lah yang ngerti segala perizinan dan undang-udang yang berlaku. Dengan adanya mereka risiko litigasi bisa dihindari. Alasan lainnya, planner ini punya peran krusial buat ngejaga kondisi lingkungan supaya berada di ambang daya dukung ligkungan. Nah, planner ini punya tugas review consent (semacam perizinan) dan mereka harus nentuin aapakah kegiatan yang diajuin ini masuk ke klasfikasi permitted, aktivitas yang bersyarat, atau gak diizinkan sama sekali. Nah, si pemegang izin ini juga wajib melaporkan hasil monitoring kondisi lingkungannya ke si council (planner).
Semua sistem ini, tercakup di dalam satu legislasi besar (omnimbus law) yang namanya Resource Management Act 1991 (RMA). Di regulasi itu jelas tujuan dari RMA yaitu untuk mewujudkan pengelolaan berkelanjutan. Dan semua kegiatan di tingkat lokal mengacu ke regulasi ini. Iya jadi di tahun 1991, pas kita masih dengan pikiran neoliberal kita, New Zealand udah punya pikiran ke arah sustainability. Luar biasa kan kutukan negara maju dan negara berkembang ini. Aniwei, intinya master of planning belajar segala hal yang berkaitan dengan RMA.
Awalnya gw mikir ini soal urban, tapi nyatanya konsep planner ini luas. Buat saya yang emang lulus dan kerja di bidang kehutanan, isu kehutanan dan catchment management tentunya jadi isu yang menarik. Nah di jurusan ini beneran difasilitasi, karena tugas planner bukan cuma ngurus urban, tapi lingkungan secara kesulurahn. Oh iya, FYI aja regional council di sini alias pemerintah provinsi di sini wilayah jurisdiksinya ngikutin catchment loh. Jadi buat gw pribadi, ini udah nunjukin bahwa catchment management punya peranan penting dalam regional planning. Mungkin karena pada waktu itu pemerintah NZ sadar kalau terlalu banyak pemerintah daerah bakal bikin susah koordinasi (kayak yang Flyvbjerg bilang semuanya akan kalah dengan 'power' pada waktunya) jadinya mereka ngerombak susunan pemerintah daerah, urusan lingkungan dipegang sama pemerintah provinsi yang wilayaj jurisdiksinya sesuai catchment. Nah pemerintah district tugasnya ngurusin masyarakat, kayak sampah, jalan, dst.
Awalnya ngerti konsep ini susah sumpah. Gimana gak, RMA aja udah 600 halaman, belum regulasi lain misalnya Local Government Act. Ini juga belum termasuk National Direction (statutory di bawahnya act, di Indonesia setara apa ya?). Tapi waktu pelan pelan review balik, bandingin ke Undang Undang Kehutanan dan flashback ke masa kuliah ternyata isu integrated planning ini luput. Seenggaknya yang gw tangkap selama kuliah kehutanan itu adalah single entity yang dimanage sama KLHK, tapi koneksi dengan land use lainnya kurang dihighlight. Kalau ditanya soal planning kehutanan ya yang gw tau planning di tapak, planning kehutanan di tingkat nasional tentu saja saya tak tahu Hahaha. Soal Rencana Kehutanan Tingkat Nasional aja, gw kurang aware dan pentingnya apa gak tau. Rencana Strategis KLHK baru tuh gw paham. Ini antara gw yang gak merhatiin di kelas, atau memang gak sebegitunya di highlight. Padahal kata orang perencanaan yang baik bisa bantu ngeluarin output yang baik (Biar gak semerta merta begitu ya).
Well, keliatannya itu dulu. Perut mulai lapar, dan tugas dan disertasi mulai memanggil. See you!
PS:
And again, satu satunya di ingetan gw, dosen yang pernah bahas soal planning kehutaan tingkat nasional itu almarhum Pak Nana, pertanyaannya simple "Kamu tau apa itu TGHK? tau gak hubungan dan permasalahnnya dengan RTRW apa?" Iya pertanyaan itu sukses bikin ngulang sidang PKL Hahahahhaa. Thank you Pak